Hai
Kenalin, nama gue Anindhita Soekowati dan gue adalah mahasiswa fakultas kedokteran. Yup, kedokteran. Fakultas yang sekarang lagi hot diomongin sama adek-adek kelas tiga yang mau daftar kuliah. Percaya gak kalo anak kelas tiga zaman sekarang itu kritis-kritis? Pemikiran mereka jauh ke depan. Sebelum mereka menentukan pilihan prodi, mereka mempertimbangkan segala kemungkinan yang terjadi pada saat kuliah dan setelah lulus. Seperti tentang bagaimana prospek kerja setelah kuliah, berapa lama kuliah, apa yang akan mereka dapat setelah kuliah, dan lain-lain. Sekarang, salah satu konsiderasi mereka untuk jadi dokter adalah “Yah, denger-denger kuliah kedokteran makin lama ya? Gara-gara ada program dokter layanan primer itu loh! Ambil kedokteran gak ya? Kalo gue idup kuliah doang, kapan gue nikahnya?” Percaya gak percaya, hal ini telah terbesit dalam pikiran-pikiran calon mahasiswa kedokteran saat ini (at least di pikiran mereka yang udah denger apa itu DLP), jangankan calon anak FK, bahkan anak FK-nya sendiri pun sekarang pikir-pikir dengan adanya kebijakan baru tersebut.
Sebenernya Dokter Layanan Primer (DLP) itu apa sih?
Jadi gini ceritanya coy, ada paradigma yang beredar di masyarakat bahwa dokter yang sekarang ini jadi garda terdepan kesehatan itu kurang kompeten. Beberapa waktu lalu gue sempet ngobrol sama seorang ibu-ibu, dia cerita, kalo beliau cenderung nggak percaya sama dokter zaman sekarang, makanya beliau kalo ke dokter cuman untuk minta resep, dan resep yang beliau minta adalah resep yang udah beliau cari di google sebelumnya. Sebegitunya coy! Kisah seperti ibu-ibu tadi ini bisa muncul karena ada kesan bahwa dokter yang berada di fasilitas kesehatan primer hanya bertugas memberi rujukan untuk berobat kepada spesialis, kalau nggak, dokter cuman ngasi resep doang. Maka sampailah kita pada kesimpulan bahwa, justru pada layanan primer, fungsi dokter untuk menyehatkan masyarakat justru tidak terwujud. Lalu apa solusinya? Solusinya adalah mewujudkan dokter layanan primer yang kompeten di mata masyarakat, yang dapat bertindak baik bukan hanya secara kuratif tapi juga preventif. Dengan kata lain, kita memaksimalkan tugas dokter yang bertugas di layanan primer ini, sehingga, perujukan untuk berobat kepada dokter spesialis hanya berlaku ketika dokter layanan primer tidak mampu mengobati pasien tersebut.
Nah sekarang, wajib gak sih mahasiswa kedokteran jadi dokter layanan primer? Berapa lama waktu yang dibutuhkan buat jadi dokter layanan primer? Apa bedanya dokter layanan primer sama dokter umum? Gue nikahnya kapan kalo mesti jadi dokter layanan primer? Pertama-tama, no. Dokter layanan primer tidaklah wajib, so, mahasiswa kedokteran pada nantinya boleh menjadi dokter layanan primer, boleh juga tidak. Pendidikan DLP nantinya bakal ada di universitas dengan akreditasi A. Untuk sementara dapat dilaksanakan 17 fakultas kedokteran di seluruh Indonesia. Nantinya, Pendidikan DLP dapat diambil kalo seorang dokter sudah melewati masa internship. Kuliahnya sendiri kira-kira akan memakan waktu dua sampai tiga tahun karena bobotnya 50-90 sks. Kalo buat sekarang, akan disaring dokter umum yang sudah menjalani pekerjaannya selama lima tahun atau lebih. Dokter-dokter ini akan menjalani pendidikan DLP tanpa harus meninggalkan tempat kerja, dan waktu yang dibutuhkan maksimal adalah enam bulan. Tapi tenang aja, menurut UU nomor 20 tahun 2013 pada pasal 8 ayat, “Program dokter layanan primer sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan kelanjutan dari program profesi dokter dan program internship yang setara dengan program dokter spesialis”. Jadi, dokter layanan primer setara dengan dokter spesialis, dan tentunya punya gelar dong! Gelarnya adalah SpFM atau spesialis family medicine (dokter keluarga). Selain memiliki gelar spesialis, dokter layanan primer berbeda dengan dokter umum karena secara klinis, dokter layanan primer mendalami kemampuan mendeteksi penyakit secara dini, perujukan, perujukan balik, kemampuan rehabilitasi dan juga palliatif. Kalo masalah kapan lo nikah, itu terserah, yang penting ada jodohnya aja. Wkwkwk.
Lalu kenapa DLP itu sangat cocok dengan situasi yang akan kita hadapi kedepan? Sekarang, kita berhadapan dengan fakta bahwa kuota BPJS untuk jadi spesialis adalah 20%. 20% itu dikit. Dikit banget malah. Mau gak mau, dengan mendukung kebijakan ini, jumlah peminatan dari spesialisasi DLP akan naik. Jujur, gue gak ngeliat ada yang salah dari sistem ini. Kedepannya, jumlah dokter layanan primer akan meningkat drastis dan dokter spesialis akan turun. Masalah yang akan timbul di masa depan justru eksklusivitas dokter-dokter DLP (alias spesialisasi lainnya). Well, melihat dari kenyataan yang ada saat ini, minoritas akan selalu eksklusif. Secara normatif, walaupun dokter layanan primer juga merupakan spesialis, DLP kemampuannya akan dianggap tidak semumpuni dokter spesialis lainnya. Fakta lain yang akan kita hadapi di masa depan adalah, spesialis-spesialis lain yang menjadi eksklusif tersebut, akan sulit ditembus karena seleksi dokter spesialis akan menjadi lebih ketat, biaya akan lebih mahal, dan kualitas dokter spesialis akan naik.
Secara personal, memandang ke depan, gue melihat prospek yang luas dan positif dengan adanya DLP di masa depan. Jelas, dengan naiknya kualitas dokter spesialis, tingkat kesehatan di Indonesia akan naik karena dokternya mumpuni. Sedangkan, untuk masalah dokter umum, menurut kaca mata gue, nantinya akan tercipta budaya bahwa menjadi dokter layanan primer adalah idealnya seorang dokter. Apa maksudnya ideal? Ideal disini adalah kemampuan dokter yang seharusnya. eorang dokter adalah seorang dokter layanan primer. Ibarat sebuah medan perang, di sebuah pelayanan primer, pasien akan cenderung memilih dokter layanan primer dibandingkan dengan dokter umum. Melihat dari pembekalan yang di dapat pun sudah berbeda. Namun ketakutan pribadi gue adalah, DLP akan menjadi sekedar formalitas, bukan cara menyelesaikan masalah. Apalagi jika kita berkaca pada negeri Belanda yang membutuhkan 15-30 tahun untuk mengintegrasi sistem kesehatannya, dalam bayangan gue, secara tidak langsung, hal ini menjadi ‘wajib' untuk dokter yang telah menyelesaikan internship, walaupun telah dituliskan bahwa dokter umum tidak wajib menjadi dokter layanan primer.
Walaupun begitu, jujur coy, menurut gue dari bluemap-nya, ini rencana keren banget. Namun, seperti yang sebelum-sebelumnya, yang sulit nantinya adalah realisasi dan adaptasinya. Adaptasi untuk dokter-dokter umum, adaptasi untuk dokter yang baru selesai internship maupun adaptasi pada bagian manajemen rumah sakit dan masyarakat itu sendiri. Pencerdasan tentang apa itu dokter layanan primer harus digencarkan sejak dini. Pro kontra nya, harus dikaji dan diaudiensi kepada masyarakat. Pada akhirnya, eksekusi yang matang harus dimasak dengan baik oleh pemerintah dan segenap jajaran yang membuat kebijakan. Sekarang ini, kita dihadapkan dengan fakta bahwa rasio dokter dan pasien itu belum seimbang, padahal lulusan dokter itu banyak. Dokter di Indonesia masih terpusat di kota-kota besar, sehingga daerah cenderung kekurangan tenaga dokter. Bukan hanya dokter, fasilitas kesehatan di Indonesia pun masih bersifat urban-sentris, yaitu semakin jauh dari kota besar, semakin minim fasilitas yang dimiliki oleh daerah tersebut.
Pada intinya, eksekusi untuk meningkatkan kesehatan di Indonesia harus dilakukan secara sinergis dan berkala. Harus ada kerja sama dari berbagai pihak, sehingga adanya dokter layanan primer sebagai garda terdepan kesehatan di Indonesia dapat dilaksanakan dengan baik. Perubahan emang nggak mudah dilaksanakan, sekalipun untuk meningkatkan kualitas hidup. Perlu tekad yang kuat, dukungan dari semua pihak - bahkan oleh pihak yang terugikan, biaya yang tinggi dan pengorbanan. Dengan bergandeng tangan seluruh unsur bangsa, cita-cita besar ini yakin akan tercapai. Kita akan meroket menuju Indonesia sehat.