Perjamuan bersuka cita, itulah seharusnya
Namun mengapa rawan hati mengiringinya?
Bagai pilu hati disayat sembilu
Karena asa tak berujung seperti janji yang terucap
Pilu dalam pesta merundung duka nestapa
Pada akhirnya ...
Tinggi gunung seribu janji
Di kala gaung propaganda lantang bergema
Manis, teramat manis bagi yang mendengarnya
Melipur lara bagi sang pelanda dera derita
"Akan kita rombak, kita rubah semuanya, saudara-sadara! Kita butuh perubahan di atas segala perubahan agar tak selalu jalan di tempat, apalagi jalan mundur! Begitulah, saudara-saudara ... "
Tepuk tangan riuh bergemuruh
Usai sang orator juru bicara mengakhiri pidatonya
Berlanjut bernyanyi, menari bersuka ria
Dalam gelak dan tawa bersama
Massa pendukung pun terhipnotis
Meski sorga indah masa depan tak tentu bakal dijumpainya
Melayang mengawang, tenggelam dalam buaian mimpi tak bertepi
Selang sekian waktu berlalu
Mereka menggenggam tampuk kekuasaan
Duduk di kursi singgasana dengan gagah perkasa
Perlahan demi perlahan mulailah melupa
Pada janji yang pernah terucap
Kepada yang 'tlah menghantarkannya
Ah, ternyata mereka ...
Sudah terbiasa mesra bercumbu dengan malu
Gumam lirih dari sang kecewa, tak kuasa harus bagaimana
Sambil merasakan bayang-bayang fatamorgana di pelupuk mata
Beriringkan kata yang mengiang, pilihlah saya!
*****
 Kota Malang, Juli di hari kedua puluh sembilan, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H