Mohon tunggu...
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team
Sucahyo AdiSwasono@PTS_team Mohon Tunggu... Wiraswasta - Bakul Es :
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

Pegiat Komunitas Penegak Tatanan Seimbang (PTS); Call Center: 0856 172 7474

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

"Radikal", Apa yang Salah?

29 Juli 2023   00:07 Diperbarui: 29 Juli 2023   02:17 184
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Input sumber gambar: kompas.com

Memang, ada yang salah dengannya? Ada yang keliru? Atau, secara ekstrem dalam artian tegas, sangat keras dan teguh, kata "radikal" itu berkonotasi tunggal sebagai sesuatu yang negatif atau yang menyesatkan?

Secara etimologis, kata "radikal" itu berasal dari kata "radiks" yang secara leksikal bermakna pangkal; sumber; dasar; bagian bawah; asal mula. Apabila dikaitkan dengan botani (ilmu tentang tumbuh-tumbuhan), maka kata "radiks" akan bermakna sebagai akar. Begitulah kamus bahasa kita mengungkapkannya. Silakan di-cek di kamus agar tak menimbulkan kesalahpahaman, kesalahkaprahan dalam memaknainya. Dan, tentunya akan begantung pada konteksnya, yakni pertalian antara makna leksikal (kamus) dengan  makna gramatikal (kalimat) dalam mendukung kejelasan makna.  

Sebab, bahasa adalah alat untuk menyampaikan kesadaran makna. Oleh karenanya, ada suatu peribahasa, "bahasa menunjukkan bangsa". Artinya, dari bahasa itulah akan terpantulkan sebuah kesadaran alam pikiran, adab budaya seseorang, kaum, maupun suatu bangsa yang mewujud nyata sebagai peradaban.

Selanjutnya, kata "radiks" setelah mengalami proses afiksasi menjadi "radikal", maka maknanya berkembang sebagai hal ihwal tentang radiks, atau pada prinsipnya adalah sesuatu yang menyangkut pada hal-hal yang mendasar, dari pangkalnya, dan dari asal muasalnya. Begitulah pemaknaan asasi terhadap kata "radikal".

Dewasa ini, bahkan hingga sampai detik ini, kata "radikal" manakala dikaitkan dengan sesuatu, utamanya terhadap aliran, keyakinan, faham, ajaran, doktrin maupun yang bersinggungan dengan ranah agamis, selalu berkonotasi dan berstigma negatif.

Fakta realita di kehidupan sosial masyarakat kita memang begitulah adanya. Apalagi bila berkembang menjadi kata "radikalisme", maka mengarahlah pada pemahaman tentang noda atau cacat terhadap segala sesuatu yang terkait dengannya, yakni terhadap faham ataupun ajaran, dan sejenisnya. Cacat atau noda dimaksud adalah hal yang bersifat negatif, bertolak belakang dengan aspek manfaat yang bersifat positif.

Nah, apakah ketika kita berhadapan dengan suatu ajaran, agar mendapatkan pemahaman yang utuh, holistik dan esensial, perlu-tidak secara radikal? Ataukah cukup dengan cara parsial? Bukankah parsial adalah bermakna, berhubungan atau merupakan bagian dari keseluruhan? Mungkinkah kajian (studi) secara parsial akan menghasilkan pemahaman yang utuh secara keseluruhan (holistik) atas suatu faham atau ajaran? Mungkinkah?

Dengan demikian, maka pemahaman terhadap suatu ajaran, keyakinan, faham, doktrin, maupun agama apa saja, sudah seharusnya ditempuh dengan cara radikal, dimulai dari akar yang mendasar agar terbangun suatu pemahaman yang utuh, kokoh, dan tak mudah goyah oleh terpaan apapun jua. Begitulah pada prinsipnya.

Jikalau agama bagi manusia adalah dalam rangka menggapai keteraturan hidup dalam bangunan kehidupan pribadi, keluarga, masyarakat, bangsa, dan semesta alam, dimana agama telah disepakati sebagai wujud bagaimana mengekspresikan ajaran Tuhan Sang Pencipta semesta alam, maka terminologi "rahmat bagi semesta alam" (rahmatan lil alamin), "cintailah sesama manusia sebagaimana engkau mencintai dirimu sendiri", tentunya harus bisa dibuktikan dalam tataran praktik. 

Cinta-kasih, damai, indah, teduh, saling kasih sayang, saling memakmurkan, saling berbagi antara si kuat dengan si lemah, harmonis, adalah wujud kehidupan yang harus dibuktikan bagi pemeluknya dimana saja, kapan saja, dalam situasi-kondisi apapun dan bagaimanapun jua. Itulah hakikat esensinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun