Mari dimulai dari diri sendiri
Panggung kecil hanya diri sendirilah yang mengenali
Siapakah diri ini?
Apa yang seharusnya dijalani?
Dan, kemanakah pada akhirnya nanti?
Terlintas, terjawabkah dari lubuk sanubari
Bahwa sebenarnya diri ini tak lebih sebagai hamba Tuhan semesta alam?
Selangkah lagi, memasuki ruang batih
Apa yang seharusnya dijalani?
Terjawabkah dalam wujud nyata sebagaimana mau-Nya?
Harmonisasi laksana di taman merindang ...
Lantas, begitu pulakah sekeliling di luar ruang batih
Di panggung yang bukan kecil lagi
Harmonisasi laksana di taman merindang pun mewujud?
Bila tidak, mungkinkah di panggung kehidupan luas
Harmonisasi laksana di taman merindang akan mewujud?
Berhentilah semburkan caci maki, tuduhan, luapan benci
Jikalau memang sama merasa sebagai hamba-Nya
Apakah karena kedengkian yang membuat diri tak kuasa berhenti?
Menabiri diri lantaran tak sanggup menyamai, tak sanggup melampaui?
Begitukah?
Orkestra katak bergema, kegaduhan pun menjelma
Tragi komedi mementas dalam lakon tak berujung tak berpangkal
Berlatarkan jalur nyanyian iblis, nyanyian setan
Dimanakah serapan dari Yang Maha Pengasih Yang Maha Penyayang
Bisa jadi nyata ditampilkan kepada sesama?
Dimanakah?
Di panggung kehidupan ini
Kehidupan indah bagai di taman merindang
Masih sebatas ilusi, wacana angan-angan semata
Sebab, lukisan hidup ideal sesungguhnya tak kunjung direngkuh
Berlagak berlagu melebihi Tuhan semesta alam, selalu disembulkan ...
*****
Kota Malang, di awal Juli, Dua Ribu Dua Puluh Tiga.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H