"Sesuatu yang kurang pantas untuk disampaikan, lebih baik dijadikan guyonan". Begitulah terjemahan dari ungkapan Itali yang pernah saya dengar saat saya masih usia taruna remaja. Boleh jadi, ungkapan tersebut dilatarbelakangi oleh penghindaran akan terjadinya dampak ketersinggungan, kebakaran jenggot, bernaik pitam yang berujung pada pertengkaran, begitu usai seorang dan beberapa orang melakukan dialog atau timbal cakap. Boleh jadi, itulah.
Sebagaimana pula pada sebuah tradisi yang melembaga dan mebudaya di sebagian masyarakat Jawa yang dikenal dengan budaya adiluhung-nya. Salah satunya, bukan salah semuanya, adalah tentang Cangkriman ataupun Gegojegan (Guyonan). Cangkriman, adalah suatu permainan dimana kita harus mencari arti dengan menebaknya. Atau dalam bahasa jawa diartikan sebagai unen-unen kang kudu dibatang utawa di bedhek (ungkapan kalimat yang harus ditebak maknanya atau maksudnya apa). Dimana dalam sebuah Cangkriman, lebih cenderung rileks, santai dan sarat dengan guyonan sehingga akan menjadi segar dan terbebas dari ketersinggungan dalam praktiknya.
Misalnya, salah seorang melontarkan kata dalam kalimat: "janaka kuluk tonne". Maka orang lain sebagai yang diajak bicara akan mencoba menerka, apa makna ungkapan kalimat tersebut. Dan, ternyata ungkapan tersebut kalau menurut saya adalah tak ubahnya sebuah akronim, yakni "nJajana nang, aku njaluk beton-e" - Belilah nangka, saya minta biji nangka (beton)-nya.  Ada pula yang demikian uangkapan kalimatnya, "tuwok rawan" - untune krowok larane ora karuwan - giginya berlubang sakitnya tak karuan. Dan, masih banyak ungkapan kalimat yang lain di ranah Cangkriman.Â
Merefleksi pada situasi dan kondisi saat ini, dimana jagad raya sedang diterpa oleh suhu panas yang dalam terminologi ilmiah disebut heatwave atau global warming, dan hal itu berdampak pada kematian bagi penduduk Bumi, sebagaimana yang menimpa Pakistan, India dan di belahan dunia lainnya, maka kekalutan atau kepanikan bagi penduduk Bumi pasti menyeruak terekspresikan, lalu berupaya untuk mengantisipasi agar tak sampai mengancam jiwanya. Masik ingat pula kan dengan Covid-19 yang juga menghebohkan jagad, dan kepanikan massal manusia? Covid-19 yang belum lama reda, kini disusul oleh Gelombang Panas yang dapat mengancam  jiwa manusia bila tidak waspada atau mendapatkan bagaimana cara mengantisipasinya. Akhir April 2023, tercatat sudah 13 penduduk India meninggal, delapan korban lainnya dilarikan ke rumah sakit, akibat Gelombang Panas mengganas ini.
Panasnya Bumi seiring pula dengan memanasnya konflik manusia yang berujung pada perang senjata, mengakibatkan situasi dan kondisi Dunia tak lagi sejuk, asri, dan nyaman dalam kedamaian. Sebagaimana perang Rusia vs Ukraina yang masih berlangsung, dan menyeret bangsa negara lainnya jadi terlibat dan melibatkan diri menjadi dua kubu yang saling berhadap-hadapan. Yakni, Blok Rusia yang bergandengan dengan China Cs dan Amerika bersama NATO yang mem-back up Ukraina. Bumi pun jadi panas dan kian memanas, tiada tanda menuju kesejukan dan kedamaian.Â
Lantas, bagaimana dengan situasi dan kondisi di negeri kita pada kurun dewasa ini? Imbas dari peperangan yang berdampak pada krisis ekonomi atau resesi Dunia tak dapat dielak, menerpa pula terhadap negeri kita. Apalagi, memasuki Tahun Politik direntang waktu 2023 hingga 2024, yang berpuncak pada pelaksanaan Pemilu 2024 yang telah diagendakan. Situasi dan kondisi yang memanas pun mulai dirasakan oleh seluruh anak negeri.
Pemilu adalah soal suksesi yang dilingkup oleh hal ihwal dalam ranah politik dengan segala sepak terjangnya. Suka atau tidak suka, terpaksa ataupun suka rela, politik akan selalu berorientasi pada kekuasaan. Dan, kekuasaan itu selalu menggiurkan yang merangsang nafsu individu maupun kolektif untuk terlibat di dalamnya. Sehingga terjadilah apa yang disebut dengan "pertarungan politik". Suhu Bumi yang memanas berbarengan dengan suhu sosial budaya yang juga memanas sebagai akibat dari pertarungan politik.
Lantas, bagaimana seharusnya kita menyikapinya manakala menghadapi situasi dan kondisi alam beserta sosial budaya yang sama-sama memanas ini?
Bila kita masih merasa gerah, boleh jadi lantaran kita telah larut pada situasi dan kondisi yang terjadi, dan merasa sulit menghindari dan mengantisipasi dalam menyejukkan diri, sehingga jadi termoderasi. Sebaliknya, bila kita merasa biasa-biasa saja, rileks, dan tak merasakan kegerahan sama sekali, maka itu berarti berkategori mampu mengendalikan diri. Jadi, yang mau ikut memanaskan situasi dan kondisi, silakan saja. Asal, telah sadar akan risiko yang bakal dihadapi. Begitu pula sebaliknya, bila berupaya untuk mendinginkan situasi dan kondisi, syaratnya, ya harus mampu menjaga dan memelihara kendali diri. Itu saja, sederhana!
Seperti halnya dalam budaya Cangkriman, Gegojegan dan Guyonan, maka sesuatu yang tampaknya rumit, mengapa tidak harus disederhanakan? Jangan malah jadi sebaliknya, sesuatu yang sebenarnya bisa disederhanakan, koq malah dirumit-rumitkan? Jelas, ada kepentingan! Pamrih!