Dalam sebuah pertengkaran, pertikaian, konflik yang berujung pada perang, menang atau kalah pastilah sama-sama menderita kerugian. We win together and we lose together, begitulah kata orang Inggris. Kalah jadi abu, menang pun jadi arang.
Namun kenapa manusia yang menjelma sebagai komunitas, suku, golongan dan bangsa dalam suatu negara masih saja mau lakukan perang? Bukankah di setiap perang apapun dalam sejarah, kedua belah pihak sama-sama menderita kerugian alias sama-sama tak meraih keuntungan?
Perang, bermakna tentang permusuhan antara dua negara, bangsa, agama, suku dan sebagainya. Bisa pula bermakna tentang pertempuran besar bersenjata antara dua atau lebih dari pasukan, tentara, laskar, pemberontak dan sebagainya. Makna selanjutnya dari perang adalah perkelahian, konflik, atau cara mengungkapkan permusuhan. Dan, pertempuran adalah perkelahian yang hebat sebagai wujud dari perang fisik.
Kalau begitu, ada pula yang dinamakan perang non fisik, ya? Ada, sebut saja Perang Dingin atau Cold War sebagaimana yang terjadi, dialami, dan dirasakan oleh kedua kubu, yakni antara Amerika Serikat dan Uni Soviet, sebagai representasi dari Blok Barat dan Blok Timur.Â
Perang Dingin, sebagai sebutan suatu periode terjadinya ketegangan politik dan militer antara AS dengan sekutu NATO-nya yang berhaluan ideologi Kapitalisme-Liberalisme, berhadapan dengan US dengan sekutu Pakta Warsawa-nya yang berhaluan ideolgi Sosialisme-Komunisme. Perang dingin merupakan sebuah persaingan ideologi yang terjadi antara AS dan US dalam memperebutkan pengaruh negara-negara lain. Peristiwa ini dimulai setelah keberhasilan Sekutu dalam mengalahkan Jerman Nazi di PD 2, yang kemudian menyisakan AS dan US sebagai dua negara adidaya di dunia dengan perbedaan ideologi, ekonomi, dan militer yang besar.
Perang dingin itu berlangsung selama empat puluh empat tahun, dari 1947 hingga berakhir pada 1991. Blok AS beserta sekutu aliansinya oleh masyarakat dunia dinyatakan sebagai "pemenang" dalam perang dingin tersebut, sehingga mentasbihkan AS sebagai komandan aliansi dengan julukan "Polisi Dunia" yang jumawa, yang merasa sebagai penguasa dan pengatur tatanan dunia. Sementara, US beserta sekutu aliansinya yang dinyatakan "kalah", harus menerima dan menanggung konsekuensinya.
Rusia sebagai bagian dari eks US terbesar di antara 15 negara lainnya, boleh jadi masih bisa disebut sebagai representasi yang tersisa dari kebesaran US dengan ideologi Sosialisme-Komunismenya yang dibangun sejak 25 Oktober 1917 oleh Vladimir Lenin dan ditutup oleh Mikhail Gorbachev yang meletakkan jabatannya sebagai Presiden US pada tanggal 25 Desember 1991 dan memberikan kekuasaannya kepada Boris Yeltsin.Â
Alhasil, US sebagai negara adidaya yang sebelumnya sebagai pesaing AS, pada gilirannya harus rontok dan pecah menjadi 15 negara tersendiri yang sudah tak lagi dalam naungan dan kejayaan kesatuan Uni Soviet, yang secara resmi dibubarkan pada 26 Desember 1991.
Apakah Rusia menerima begitu saja atas kekalahannya dari AS dalam Perang Dingin selama 44 tahun dimaksud? Di sepanjang sejarah perang peradaban manusia, siapapun yang kalah perang, selalu dan selalu akan menyusun kembali kekuatannya guna membalas dendam atas kekalahannya itu dengan rencana strategi dan cara yang bisa dilakukan demi mendapatkan kemenangan. Tak terkecuali terhadap Rusia saat ini, pasca kekalahannya pada Perang Dingin dari AS 1991 yang ditandai dengan bubarnya US.
Invasi Rusia terhadap Ukraina yang dimulai pada 24 Februari 2022, adalah indikator kuat, betapa Rusia telah merencanakan secara matang guna membangkitkan kembali kejayaan US atau upaya membangun kembali "New US" guna balas dendam kepada AS beserta sekutunya NATO, pasca kekalahannya dalam Perang Dingin.