Kami takkan mengelak, takkan mengelak! Manakala dikata bila masih belum apa-apa. Ya, memang! Namun, kami masih mau menjadi apa-apa. Kami bergerak, tak diam seribu bahasa. Tak hanya duduk bersila dengan mimpi setinggi langit, kaki melepas bumi. Berangan dan berangan hanya menanti durian runtuh. Tidak! Bukan itu! Seperti yang kalian sangka, kalian kira.
Berseru kami selalu di antara debu yang menderu. Tentang arah yang semustinya ditegakkan, tak hanya kata wacana belaka. Tak hanya berkutat dalam genangan rancangan, rumus, angka, dan bergumul dalam kata bahasa retorika.
Bukankah kita sedang dihadapkan pada kepelikan yang sama? Memperjuangkan jalan keluar, lepas dari hingar bingar timpangnya budaya dan peradaban, seperti yang tengah kita saksikan bersama saat ini. Lalu, haruskah terus saling berbantah-bantah tiada henti? Buat apa?
Menjawablah kami dengan gerak aksi setapak demi setapak. Lewati hamparan kerutan kata bersawala. Lantaran itu percuma, takkan membawa berkah dan anugerah. Hanya akan sampai pada onggokan gumpalan yang kian parah, tanpa cerah. Sadarilah! Jikalau mau menyadari. Dan, kami takkan mengobral janji. Karena kami tengah bernyali tegakkan satu bukti. Gambaran kepastian yang telah diyakini dari Ilahi, bukan angan mimpi yang jauh panggang dari api ...
Tatanan hidup seimbang, teratur, adil sejahtera nan universal, itulah arah yang seharusnya ditegakkan dalam gerak bersama, kerja bersama di ruang dan waktu yang disiapkan oleh Tuhan semesta alam. Bergegaslah, sambutlah bila saatnya tiba nanti yang tak mungkin kita lari dan menghindari ...
*****
Kota Malang, September di hari ketiga puluh, Dua Ribu Dua Puluh Dua.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H