Oleh karenanya, sebuah teori, konsep, ide atau gagasan, hanya akan menjadi nyata objektif atau terbukti menjadi klop markotop, apabila digeret ke arah praktik dan dipraktikkan agar bisa disebut ilmiah sebagai akibat telah dibuktikan dalam proses pembuktian yang sistematis dan melalui sebuah penjajagan gagasan ke dalam kenyataan.Â
Bila tidak melalui geretan praktik yang dipraktikkan, maka jangan tersinggung bila ada yang membully dengan celotehan: "Ah, hanya teori melulu!" Atau hanya sebagai ahli teori atau ahli kitab! Textbook only.Â
Sehingga sebuah ilmu yang konon katanya adalah demi misi dalam menjawab problem sosial budaya dan peradaban manusia agar terjadi tatanan hidup dan kehidupan yang ideal, harmonis, adil, seimbang nan sempurna ... Hanya akan di awang-awang belaka, bila tak dibarengi dengan gerak tindakan yang nyata. Dengan kata lain, tak bisa dilakukan hanya dengan duduk-duduk di belakang meja atau duduk-duduk bersila menatap rumus-rumus teori dan konsep, tanpa praktik uji lapang.
Sebab apa? Dari mana akan diketahui tepat dan tidaknya sebuah teori atau konsepsi yang dikaji atau dipelajari, bila tak dilakukan praktik uji lapang?
Selanjutnya, bicara tentang ilmu yang kata sifatnya adalah ilmiah, maka yang semustinya disadari oleh manusia adalah, bahwa tak ada satupun manusia yang berkemampuan menciptakan suatu ilmu.Â
Ilmu itu berasal dari Tuhan Maha Pencipta Segala, yang diajarkan oleh Tuhan kepada manusia dengan pengajaran melalui isyarat alam, melalui kejadian-kejadian dari pasti alam sekitar yang mengitari manusia sebagai contoh nyata, yang kemudian ditangkap oleh manusia melalui inderanya, sehingga terkonsepsilah di alam pikiran manusia yang akan digunakan untuk memperlakuan sesuatu, termasuk memperlakukan dirinya sendiri.Â
Selanjutnya, barulah dilakukan suatu kodifikasi yang konsisten setelah melewati uji lapang yang tak hanya sekali dua kali. Namun berkali-kali demi menuju kesempurnaan dan demi pembuktian objektif guna dinama ilmiah, bukan hanya naratif retoris belaka.
Saksikan saja betapa kaum praktisi di level dan di bidang apapun, tanpa sentuhan nuansa akademis, ternyata lebih banyak menghasilkan karya teknologi, budaya dan peradaban yang tinggi. Dibandingkan dengan yang hanya duduk di belakang meja atau duduk bersila bergelut dengan literatur yang beirisi rumusan dan teori, tanpa dilakukan sebuah praktik dalam mendapatkan pembuktian agar bisa disebut: klop, seimbang nan sempurna sebuah teori atau konsepsi hidup di seluruh aspek hidup, multidimensional.Â
Itulah yang bernama objektif ilmiah. Persoalannya hanya, manakah ilmu terapan yang beradab dengan yang tak beradab atau biadab? Inilah yang arahnya tentang yang didukung oleh norma, aturan, adab budaya kebaikan dan kejahatan dalam praktik pelaksanaannya. Dan, di sinilah akan berhubungan dengan hukum yang berkeadilan, berhikmat kebijaksanaan ataukah tidak bin abai?Â
Hukumpun, sudah seharusnya yang disebut paling ideal adalah hukum alam, yang identik dengan hukum Tuhan, bukan hukum hasil intuisi manusia yang sarat dengan subjektivisme.
Kawan, seonggok sajak sederhana