Dalam rangka memenuhi kepentingan nasional di luar wilayah teritorinya, negara harus menjalankan suatu rancangan ketetapan yang disebut dengan kebijakan luar negeri. Kebijakan luar negeri memuat tujuan-tujuan negara yang diimplementasikan ke dalam sebuah instrumen bernama politik luar negeri. Menurut Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, kebijakan luar negeri ini dapat diartikan sebagai sikap dan langkah yang diambil pemerintah Republik Indonesia dalam menjalankan hubungan dengan negara lain untuk menyelesaikan masalah internasional dan mencapai tujuan nasional (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 27 Maret 2016). Berdasarkan penjelasan tersebut, maka dalam menjalankan kebijakan luar negerinya, Indonesia akan terus berhubungan dengan negara-negara lain sehingga dapat mencapai tujuan-tujuan nasional.
Langkah ini sudah tercermin sejak dulu di dalam prinsip politik luar negeri Indonesia yang dikenal melalui istilah “bebas dan aktif”. Menurut Mohammad Hatta, wakil presiden pertama RI, “bebas” berarti bahwa Indonesia tidak berada dalam kedua blok dan berhak menentukan jalan sendiri guna mengatasi masalah internasional dan “aktif” bermakna bahwa Indonesia turut serta dalam upaya menciptakan perdamaian internasional (Mohammad Hatta, 1976). Upaya Indonesia yang ikut aktif dalam mewujudkan perdamaian internasional telah dibuktikan dengan menjaga hubungan baik kepada negara-negara lain di dunia dan menginisiasi institusi atau mengadakan kerjasama yang berfokus pada perwujudan perdamaian dunia meliputi Gerakan Non-Blok, Konferensi Asia Afrika, hingga mengirim pasukan perdamaian ke negara-negara rawan konflik.
Fokus dan bentuk politik luar negeri Indonesia dapat dipengaruhi oleh kepemimpinan dari pemimpin negara. Contohnya, Indonesia telah merasakan perubahan bentuk politik luar negeri yang signifikan dari era kepemimpinan Presiden Soekarno yang anti imperialisme dan kolonialisme ke kepemimpinan Presiden Soeharto yang cenderung berorientasi pada negara barat (Franklin B. Weinstein, 2007). Pun hingga ke masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo saat ini, dimana karakteristik dan fokus politik luar negeri Indonesia mengalami perubahan karena pengaruh keadaan dan perkembangan dunia. Karakteristik politik Presiden Joko Widodo berfokus kepada masalah dalam negeri yang dikenal dengan istilah Politik Pro-Rakyat dan Politik Membumi. Sementara dalam menjalankan politik luar negerinya, Presiden Joko Widodo menegaskan bahwa Indonesia akan fokus pada penguatan hubungan dengan negara-negara lain di dunia melalui diplomasi (Asep Setiawan dan Endang Sulastri, 2017).
Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia telah merilis sasaran strategis utama yang akan dicapai pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo periode 2020-2024 akan bertumpu pada Prioritas 4+1 yaitu: Penguatan Diplomasi Ekonomi; Diplomasi Perlindungan; Diplomasi Kedaulatan dan Kebangsaan; Meningkatkan Kontribusi dan Kepemimpinan Indonesia di Kawasan dan Dunia; serta memperkuat Infrastruktur Diplomasi. (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 13 Januari 2023). Pada esai ini, penulis akan menitikberatkan kepada pembahasan mengenai kebijakan politik luar negeri Indonesia dalam menjaga perdamaian dunia sebagaimana tujuan dan cita-cita bangsa melalui diplomasi kemanusiaan berupa pengiriman KONGA (Kontingen Garuda) ke negara-negara rawan konflik.
Di era kepemimpinan Presiden Joko Widodo, penulis beranggapan bahwa peran Indonesia di kancah internasional berkembang luar biasa pesat. Hal ini dilihat dari keaktifan Indonesia, terutama dalam upaya perwujudan perdamaian internasional melalui diplomasi kemanusiaan. Hal ini kemudian diperkuat oleh pernyataan Direktur Jenderal Kerja Sama Multilateral, Febrian A. Rudyard, bahwasanya diplomasi kemanusiaan Indonesia merupakan salah satu prioritas dalam kebijakan luar negeri Indonesia (Kementerian Luar Negeri Republik Indonesia, 27 Maret 2018). Contoh nyata dapat dilihat ketika Indonesia menjalankan diplomasi kemanusiaan melalui bantuan luar negeri guna mengatasi masalah internasional meliputi tragedi kemanusiaan di Rakhine State, konflik Palestina-Israel, dan masalah kekeringan dan kelaparan yang terjadi di beberapa negara Benua Afrika.
Keterlibatan Indonesia untuk turut serta secara aktif dalam memelihara perdamaian ini selaras dengan Pembukaan UUD 1945. Hal tersebut diimplementasikan salah satunya melalui pengiriman pasukan TNI-Polri ke dalam misi pemeliharaan perdamaian PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa). Selain UUD 1945, pengerahan pasukan Indonesia untuk menjalankan misi PBB juga didasari oleh sejumlah peraturan di antaranya Undang-Undang Hubungan Luar Negeri No. 3 Tahun 1999, Undang-Undang No. 34 Tahun 2004 tentang Tentara Nasional Indonesia, Undang-Undang No. 2 Tahun 2022 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, Undang-Undang No. 3 Tahun 2002 tentang Pertahanan Negara, dan UN Charter. Dalam penugasannya, pasukan perdamaian asal Indonesia akrab disebut dengan Pasukan Garuda atau Kontingen Garuda (Konga). Setiap Kontingen Garuda yang hendak bertugas kemudian akan diberikan nama sandi sesuai urutan misi pemeliharaan perdamaian yang ditunjuk. Sebagai contoh, ‘Konga-1’ merujuk kepada sandi Kontingen Garuda yang pertama kali dikirim oleh Indonesia.
Menengok sejarah, pengiriman Kontingen Garuda pertama kali dilakukan pada tahun 1957. Kala itu, sebanyak 559 personel infanteri dikerahkan Indonesia untuk bertugas dalam misi United Nations Emergency Force (UNEF) di wilayah Sinai, Mesir, guna menengahi konflik antara negara-negara Arab dengan Israel. Selanjutnya, personel polisi juga mulai dikerahkan melalui misi United Nations Transition Assistance Group (UNTAG). Sejak saat itu, sebagaimana dikutip dari laman Setkab, Polri juga secara regular mengirimkan personelnya melalui skema Individual Police Officers (IPOs) yaitu polisi atau penegak hukum lainnya yang memiliki keahlian khusus dan ditugaskan oleh pemerintah negara kontributor ke PBB.
Di tengah evolusi misi pemeliharaan perdamaian PBB yang kian multidimensional, Indonesia terus berkomitmen guna meningkatkan kontribusinya baik secara kuantitas maupun kualitas. Ini tidak terlepas oleh fakta bahwa agenda peacekeeping merupakan prioritas luar negeri Indonesia dan bagian dari tujuan diplomasi perdamaian dunia. Hingga kini Indonesia tercatat telah mengirim ribuan personel. Merujuk pada data UN Peacekeeping per 31 Oktober 2022, Indonesia berada di peringkat kedelapan, dari total 125 negara, sebagai negara dengan jumlah pasukan terbanyak di dalam menjalankan misi pemeliharaan perdamaian PBB.
Sebanyak 2.581 personel Indonesia, dengan 156 merupakan personel perempuan, ditugaskan dalam delapan misi meliputi MINURSO (Sahara Barat), MINUSCA (Republik Afrika Tengah), MINUSMA (Mali), MONUSCO (Republik Demokratik Kongo), UNIFIL (Lebanon), UNISFA (Abyei,Sudan), UNMISS (Sudan Selatan), UNSOM (Somalia).
Dilihat dari konteks internasional, pengiriman pasukan Indonesia untuk bergabung dalam misi pemeliharaan perdamaian PBB menjadi sebuah wujud konkret atas kontribusi Indonesia dalam menjaga perdamaian dan keamanan internasional. Sementara dalam konteks nasional, keterlibatan tersebut sekaligus menjadi sarana meningkatkan profesionalisme personel TNI-Polri. Lebih jauh, partisipasi Indonesia ini juga dapat dimanfaatkan sebagai pendorong terkait pengembangan industri strategis nasional, terkhusus industri pertahanan. Suatu kebanggaan yang turut membawa angin segar bahwa kini sejumlah alat utama sistem persenjataan (alutsista) produksi anak negeri sudah digunakan dalam rangkaian misi ini, di antaranya Armored Personnel Carrier ANOA dan KOMODO, senjata api SS dari PT. Pindad, dan seragam militer/polisi buatan swasta nasional.
Dari pembahasan di atas, penulis menyimpulkan bahwa politik luar negeri pada masa kepemimpinan Presiden Joko Widodo berfokus kepada penguatan peran Indonesia di dunia melalui diplomasi. Pengiriman Kontingen Garuda (KONGA) secara konsisten sebagai bentuk kebijakan luar negeri Indonesia untuk mencapai tujuan luar negeri dalam mengelola perdamaian internasional memiliki dua fungsi yaitu fungsi diplomasi kemanusiaan dan diplomasi pertahanan.