Mohon tunggu...
Dyah Rezania Amin
Dyah Rezania Amin Mohon Tunggu... Guru - dyah

jawaban sebuah keberhasilan adalah terus belajar dan tak kenal putus asa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Senjaku

1 Desember 2019   00:33 Diperbarui: 1 Desember 2019   00:45 10
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam-malam penghujan telah tiba, ketika burung-burung telah kembali kesarangnya dan kodok mengabarkan berita gembira ini pada sekawanannya. Tampaklah di pojok kota seorang anak kecil berpakaian compang-camping menggigil kedinginan dengan memeluk kotak dangangannya yang masih terisi penuh. Menangis tak lagi mampu menjadi tumpuan saat ia lemah seperti ini. Ia sendirian, tak ada yang peduli padanya.

Ketika hari menjelang tengah malam ia ingin kembali ke gubuknya, namun ia tak membawa uang sedikitpun. Bagaimana jika Bang Kadri marah. Ia tak kan sanggup menanggung amarahnya. Namun, jika ia tak pulang justru akan semakin berat hukumannya. Anak kecil itupun memutuskan untuk pulang dan berjalan menyusuri pinggir kota yang tak pernah tidur.

Sampailah ia di gubuk. Tak salah lagi, rotan panjang telah menyambutnya sedari tadi. Dengan keras rotan itu memukul punggung dan kakinya hingga memar. Tak terasa, air matanya jatuh disertai isakan lirih yang hampir tak terdengar oleh siapapun, selain Tuhannya.

Sulit baginya bergerak, tak cukup tenaganya meski untuk sekadar membalikkan tangan. Namun begitu, tak lelah bibirnya melafalkan kalimat-kalimat mulia, karena hanya dengan mengingat Tuhan, hatinya menjadi tenang. Di sampingnya, beberapa anak tampak tidur pulas dengan mimpi-mimpi indah yang tak mungkin terwujud, inilah takdir.

"Brak! Brak! Bangun Jil! Kalo loe tidur mulu, kapan gue dapet setorannya! Bangun bangun!" teriakan Bang Kadri seakan memecah gendang telinga. Ia mendobrak pintu yang hampir roboh dengan tendangannya. Dan sudah tentu anak-anak itu terbiasa. Dalam hati mereka ada rasa takut yang berlebihan, tubuh mereka menggigil dan matanya sayu.

Bergegaslah mereka menuju trotoar jalan, dan menawarkan barang jualan pada pekerja-pekerja kantor yang melewatinya.
"bu, pak silahkan dibeli, bisa untuk bekal ke kantor pak." Tawar Ajil pada orang yang lewat. Jangankan membeli, menoleh saja tak mau. Dalam hal semacam ini, cukup kata sabar yang ada di qalbunya.

Langit menampakkan mendung. Yah, lagi-lagi mendung. Ia yakin sebentar lagi pasti rintik-rintik rahmat akan turun, ia berlari mencari tempat teduh. Pada saat yang bersamaan, seorang nenek berbalut kebaya dan membawa tas besar turun dari angkutan umum.

Beliau tampak sangat payah dan berusaha mencari orang yang dapat membantunya. Namun, janganlah engkau berkata ini Jakarta jika ada yang peduli padanya. Semua orang sibuk dengan arah pikiran masing-masing. Ah, jangan salah! Masih ada orang baik di dunia ini.

Ajil berlari menuju si nenek dan menawarinya bantuan. Nenek itu menatap kagum, seorang anak kecil berumur 11 tahun yang kurus kering menawarinya bantuan. Nenek tersenyum dan mengangguk. Tak salah! Anak yang perkasa, ia menangkat tas besar itu seorang diri menuju halte bus untuk berteduh. Tak memerlukan waktu lama untuk mengakrabkan mereka. Seolah nenek dan cucunya yang lama tidak berjumpa.

"Nak, dimana kamu tinggal?" pelan dan halus nenek itu bertutur, Ajil tertegun panjang. Baru kali ini, ada yang memiliki melodi kata seindah itu, penuh perhatian.
"Ajil, tinggal di kompleks perkampungan kumuh nek, maaf sebelumnya. Apa nenek sendirian?" tanya Ajil dengan berhati-hati.

"ah, iya. Tadi nenek baru dari toko mainan. Hari ini cucu nenek ulang tahun yang ke sebelas. Nenek ingin menghadiahkan mainan ini untuknya." Kata nenek dengan sumringah sambari menunjuk pada sebuah kotak yang ada di dalam kresek hitam.

Menangislah Ajil dalam hati, teringat orangtuanya yang sejak ia berumur enam tahun telah bercerai. Entah mengapa orangtuanya tak mengenalkan ia dengan kakek neneknya atau sanak saudara yang bisa ia mintai bantuan. Ia pergi bersama ibunya, namun ibunya tiba-tiba meninggalkannya begitu saja. Oh Tuhan, begitu malang kisah Ajil karena ia tak seberuntung anak lainnya. Namun, lagi-lagi rasa sabar mengalahkan segalanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun