Mohon tunggu...
Dyah Retna Prabaningrum
Dyah Retna Prabaningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada. Awardee LPDP. Tertarik dengan ilmu pengetahuan dan kegiatan menulis, hobi membaca buku fiksi dan non fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Book

Resensi Buku Sastra Klasik Indonesia "Atheis"

29 September 2024   13:31 Diperbarui: 29 September 2024   13:45 98
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Judul : Atheis

Pengarang : Achdiat K. Mihardja

Tebal : 268 Halaman

Penerbit : PT Balai Pustaka (Persero)

Tahun Terbit : 2009

Novel atheis menceritakan tentang Hasan seorang pemuda yang taat beragama, namun karena pergaulan sosialnya ia terseret menuju lembah atheisme. Hidup sebagai pemuda taat beragama membawa hidup Hasan berada dalam kedamian, baik dengan keluarganya maupun dengan lingkungan sosialnya. Namun hal tersebut berubah manakala Hasan bertemu dengan Rusli teman masa kecilnya. Rusli kecil yang dikenal nakal dan jarang bersembahyang, meskipun berbeda watak dengan Hasan nyatanya merupakan teman karib yang saling berbagi satu sama lain. Hal ini kelak membuat keduanya mengingat kembali kebersamaan masa kecilnya. Rusli yang tumbuh menjadi seorang propagandis kiri dan seorang atheis ternyata memberikan pengaruh besar terhadap Hasan yang makin sering bergaul dengannya. Disamping itu kehadiran Kartini, seorang perempuan bagian dari kelompok perjuangan Rusli ternyata membuat Hasan jatuh hati. Pergulatan batin yang di awal muncul pada diri Hasan terkait paham yang berbeda antara Rusli dan kelompoknya, kian hari kian pudar. Hasan telah menjelma menjadi bagian dari kelompok tersebut.

Perubahan diri Hasan mulai disadari orang di sekitarnya, bahkan secara terang-terangan Hasan terlibat konflik paham dengan kedua orang tuanya. Hal tersebut membuat Hasan sedih, namun kata-kata Anwar seorang anggota kelompok yang lain memberikan sinar harapan baru bagi Hasan untuk meneruskan perjalanan hidupnya yang kini sungguh berbeda. Seiring waktu rasa cinta pada diri Hasan kepada Kartini menjadi semakin kuat hingga keduanya memutuskan menikah. Namun pernikahan itu tidak bertahan lama karena cek cok rumah tangga yang tak berkesudahan. Diawali oleh ketidaksetujuan orangtua Hasan kepada Kartini dan kata-kata menyakitkan yang diucapkan orang tua Hasan melalui surat. Kemudian isu perselingkuhan antara Hasan dan Fatimah saudara satu kampung Hasan di Panyeredan. Rumah tangga Kartini dan Hasan kian memanas kian hari, hingga Hasan tidak segan-segan melakukan kekerasan dalam rumah tangga pada Kartini karena rasa cemburunya terhadap Anwar dan Kartini. Demikian akhirnya rumah tangga tersebut berakhir dengan perceraian. Hasan yang mulai sakit-sakitan di penghujung akhir hidupnya mulai kembali kepada keyakinannya yang dulu. Karena selama ini ketika ia menjadi seorang atheis ia tidak merasakan kedamaian dan selalu merasa gelisah.

Novel Karya Achdiat Karta Mihardja Ini memberikan pesan moral yang sangat baik berkaitan dengan pentingya kita memiliki keimanan sebagai pegangan hidup. Ini selaras dengan negara kita yang menganut Ketuhanan Yang Maha Esa. Dimana dalam hal ini kurang relevan dengan paham yang dianut Rusli dan kelompoknya. Selain itu dalam novel ini juga disajikan informasi-informasi logis yang biasa diucapkan oleh Rusli dan kawan-kawannya. Namun dalam konteks keseluruhan, kecerdasan yang dimiliki Rusli dan kawan-kawannya masih kurang seimbang bila tidak diikuti dengan keyakinan akan Tuhan. Selain kelebihan yang disajikan terdapat beberapa kekurangan antara lain istilah bahasa Jepang, Belanda dan Inggris yang tidak dilengkapi dengan terjemahan. Ini tentu akan menyulitkan pembaca untuk masuk dalam maksud cerita tersebut. Karena beberapa bagiannya terasa hilang oleh bahasa asing. Selain itu alur maju mundur yang disajikan juga memerlukan ketelitian bagi siapapun yang membacanya karena bila tidak demikian pembaca akan kesulitan memahami alur cerita tersebut.

Pada akhirnya novel atheis ini memberikan genre baru dalam dunia kasusastraan klasik Indonesia. Dengan banyaknya wawasan yang dimiliki Achdiat Karta Mihardja dalam menyusun novel ini tentu saja perlu diberikan apresiasi. Karya sastra klasik yang pertama kali diterbitkan pada tahun 1949  ini tentu saja masih sangat layak untuk dibaca generasi sekarang. Hal ini dikarenakan muatan moral yang ada didalamnya serta sajian cerita yang apik dan menghibur pembaca.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Book Selengkapnya
Lihat Book Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun