Mohon tunggu...
Dyah Retna Prabaningrum
Dyah Retna Prabaningrum Mohon Tunggu... Lainnya - Mahasiswa

Mahasiswa Magister Ilmu Hukum Universitas Gadjah Mada. Awardee LPDP. Tertarik dengan ilmu pengetahuan dan kegiatan menulis, hobi membaca buku fiksi dan non fiksi.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe Pilihan

Tren Gaya Hidup Slow Living, Banyak yang Salah Paham

27 Maret 2024   11:03 Diperbarui: 27 Maret 2024   11:15 675
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
sumber gambar: id.pinterest.com

Slow living secara umum kita dengar sebagai gaya hidup yang lambat. Ini dikaitkan dengan tempo dan ritme kehidupan manusia yang berlawanan dengan hustle culture atau budaya hidup yang gila kerja. Istilah slow living akhir-akhir ini menjadi terkenal di sosial media seiring semakin sadarnya masyarakat terhadap pentingnya kesehatan mental. Maka dari itu slow living dianggap sebagai gaya hidup yang tepat di tengah zaman yang semakin banyak tekanan. Namun pada kenyataannya makna slow living mulai disalahartikan dengan kehidupan yang sama sekali tanpa ambisi.

Padahal makna dari slow living menurut Kate O'Brien sebetulnya diambil dari singkatan "Sustainable, Local, Organic, and Whole". Dari pengertian tersebut maka slow living dapat diasosiasikan dengan gaya hidup berkelanjutan atau sustainable. Dengan menggunakan segala sesuatu secara bijak dan bertanggungjawab misalnya penerapan reuse, reduce, recycle merupakan contoh gaya hidup berkelanjutan. Selanjutnya adalah local yaitu gaya hidup yang mendukung perekonomian masyarakat sekitar dengan menggunakan produk-produk dari masyarakat local. Kemudian organik yaitu konsumsi segala sesuatu yang bebas pestisida dan terbebas dari zat-zat kimiawi buatan. Terakhir whole atau utuh yaitu konsumsi produk secara utuh dan alami tanpa proses modifikasi.

Menurut Megumi Iizuka (2017) slow living adalah menjalani kehidupan di pedesaan dengan mata pencaharian sebagai petani. Fenomena ini memunculkan kelegaan bagi daerah pedesaan yang selama ini ditinggalkan oleh penduduk usia muda yang pergi merantau ke kota-kota besar. Secara umum slow living dapat dikatakan sebagai antitesa dari urbanisasi dimana kehidupan masyarakat berpindah dari desa ke kota. Dengan berpindahnya masyarakat dari kota ke pedesaan akan membantu peningkatan populasi masyarakat desa yang selama ini mayoritas hanya dihuni oleh para lansia. Dengan adanya gaya hidup slow living maka penduduk pedesaan menjadi kian beragam.

Lalu adakah manfaat dari gaya hidup slow living ini? Manfaat dari slow living sendiri diantaranya adalah meredakan stress, hal ini dikarenakan dengan mempraktikan hidup slow living kita hidup selaras dengan keadaan dan menggunakan secara penuh sumber daya yang kita miliki tanpa harus terobsesi dengan sesuatu yang tidak kita punya. Selanjutnya adalah menjaga kesehatan tubuh, hal ini dikarenakan dengan konsumsi bahan-bahan organik dan berasal dari alam akan menjadikan zat-zat kimiawi buatan menjadi terbatas untuk masuk ke dalam tubuh. Maka dari itu gaya hidup slow living dapat meningkatkan kesehatan organ tubuh karena asupan nutrisi yang terpenuhi. Yang terakhir adalah meningkatkan perekonomian masyarakat lokal, ini dikarenakan slow living yang berorientasikan konsumsi produk lokal sehingga mempengaruhi perekonomian masyarakat lokal menjadi naik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun