[caption id="attachment_167509" align="alignleft" width="300" caption="source pict.: kutukutubuku.com"][/caption] Saya baru saja tuntas membaca Garis Batas. Sebuah karya dari seorang Agustinus Wibowo. Sebuah karya yang tidak sekedar bicara tentang travelling, tapi lebih kepada sebuah perjalanan. Perjalanan mencari sebuah meaning. Perjalanan yang pada akhirnya membuat kita selalu bersyukur akan tempat kita dilahirkan dan dibesarkan. Perjalanan yang pada akhirnya membuat kita senantiasa merindukan dan mencintai bangsa dan negara ini –Indonesia.
Bagi saya, Agustinus Wibowo telah menggambarkan sebentuk kisah yang lebih dari sekedar kisah negara-negara yang dikunjunginya. Ada kesan dan pesan yang tertinggal begitu dalam seusai membaca buku yang cukup tebal ini.
Beberapa pesan yang begitu melekat di benak saya yaitu
Tentang Tajikistan: “Roti adalah roti. Remah-remah roti juga adalah roti.”
Pepatah Tajik tersebut memang sesuai dengan kondisi Tajikistan yang merupakan salah satu negara pecahan Rusia. Meskipun ia hanya salah satu dari beberapa negara pecahan Rusia, Tajikistan tetap merasa sebagai Rusia. Meskipun pada kenyataannya, mereka adalah remah-remah roti dari sebuah roti besar yang ada. Mereka bangga berbicara bahasa Rusia dan berpenampilan trendy ala Rusia. Bagi mereka, Rusia adalah masa keemasan yang masih mereka kenang dan idam-idamkan dapat kembali ke masa itu lagi.
Berbeda dengan Afghanistan, negeri seberang Tajikistan. Keduanya hanya dipisahkan sungai Amu Darya. Sungai selebar 20 meter!.. Namun mampu memisahkan takdir kedua negara tersebut. Keduanya begitu berbeda.
Selain itu ada juga tentang Kazakhtan, Kirgiztan, Uzbekistan, dan Turkmenistan.
Turkmenistan juga begitu melekat di ingatan saya. Bagaimana diktatornya seorang pemimpin namun rakyatnya tetap mencintainya, tetap mengelu-elukannya. Turkmenistan mengingatkan kita pada masa orde baru, ketika semua titah perintah presiden tidak boleh ditolak dan harus dikonkretkan dalam sekejap mata.
Ah..negara-negara itu, semuanya begitu mendebarkan. Avgustin (sapaan Agustinus Wibowo dalam Russia Style) telah berhasil membuat saya tidak terlalu berminat ke negara-negara stan-stan itu (emangnya loe punya duit ke sana??? Wkwkwkwkk). Sungguh..negara-negara itu tampak sangat tidak menyenangkan untuk para backpacker miskin!... hahhaha..
Namun Garis Batas menyadarkan diri saya pada sebuah makna yang telah lama ada dalam diri kita masing-masing. Garis batas akan selalu ada, bagaimanapun bentuknya. Konsekuensi dari sebuah garis batas seringkali diperlakukan sedemikian rupa, berbeda-beda perlakuan antara individu yang satu dengan individu yang lain. Hidup kita dipenuhi garis-garis batas yang tampak maupun yang imajiner..
Sungguh.. garis batas membuat kita merenungi kembali diri kita, menengok kembali ke dalam batasan kita. Memandang sebuah wilayah lain di luar garis batas dalam area batas diri kita. Semuanya seperti sebuah perjalanan spiritual yang membuat kita semakin bersyukur, bersyukur dan bersyukur bahwa kita ada di Indonesia, bernegara dan berbangsa Indonesia –dengan segala kekurangan yag dimilikinya.
Thanks Avgustin!.. Rahmat (baca: terima kasih).
Identitas buku:
Judul: Garis Batas; Perjalanan di Negeri-negeri Asia Tengah
Penulis: Agustinus Wibowo
Terbitan PT Gramedia Pustaka Utama
Cetakan Ketiga, Juli 2011.
*juga diposting di blog pribadi Dyah
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H