[caption id="attachment_143244" align="alignleft" width="300" caption="es tong-tong (doc.pribadi Dyah)"][/caption]
Siapa yang tidak menyukai es krim? Saya percaya hampir semua orang suka es krim. Tua, muda, anak-anak, dewasa, semuanya menyukai es krim, termasuk beberapa orang yang sedang menjalani diet ketat, meskipun mereka berusaha membatasi konsumsinya.
Di tahun 90-an, saat Makassar masih menjadi kota yang berusaha tumbuh, ada banyak panganan khas yang sudah jarang kita temukan di masa sekarang. Salah satu diantaranya yaitu es tong-tong.
Es tong-tong adalah es krim yang dijajakan pedagang keliling dengan menggunakan gerobak berhiaskan gong sederhana yang ketika dipukul akan berbunyi “tong.. tong.. tong..”, sehingga ia disebut es tong-tong. Di beberapa daerah selain Makassar juga ada, seperti di Surabaya dan Jogja. Hanya saja namanya agak berbeda. Di Surabaya dan Jogja, sering disebut es tung-tung, cuma beda huruf vokal saja. Namun tampaknya tidak begitu populer seperti kepopuleran es tong-tong di Makassar tahun 90-an.
Es tong-tong memang berbeda dengan es krim kemasan pabrik, karena ia diolah secara tradisional. Meskipun demikian, es ini menjadi salah satu jajanan favorit di Makassar saat matahari sedang terik-teriknya menyinari.
Anak-anak sangat menyukainya. Harganya pun murah untuk kantong anak-anak. Tahun 1995, dengan uang 300 rupiah, kita sudah dapat menikmati segelas es tong-tong dengan porsi yang cukup banyak.
Es tong-tong kala itu ada berbagai varian rasa, diantaranya coklat, vanilla, strawberry, bahkan ada yang rasa durian. Ditambah lagi, beberapa penjual yang cukup laris biasanya memang menjual es es tong-tong yang agak berbeda karena ada tambahan potongan nangka kecil-kecil dalam es-nya. Ada juga yang menambahkan sagu mutiara dan agar-agar atau cincau. Di samping itu, ketika membeli, kita akan ditanya ingin pakai kerupuk (cone), roti, atau wadah sendiri. Setelah itu langsung saja si penjual akan menyerut es-nya dengan cepat menggunakan sendok. Kita pun bisa menikmati es tong-tong yang menyegarkan, tentunya jangan lupa membayar. :)
Kisah es tong-tong tidak hanya sampai disitu. Untuk menyesuaikan dengan perkembangan zaman, penjual es tong-tong sekarang menyediakan gelas mini yang terbuat dari plastik disertai sendok kayunya. Di samping itu, harganya sudah bukan 300 rupiah lagi, tapi masih tetap tergolong murah karena hanya 1000 rupiah dengan porsi yang agak sedikit. Sudah jarang pula ditemui es tong-tong rasa durian dan juga es tong-tong yang berhiaskan potongan nangka kecil-kecil. Yang banyak dijual sekarang yaitu es tong-tong dengan sagu mutiara dan agar-agar.
Selebihnya, tidak banyak yang berubah dari es tong-tong. Penjualnya masih tetap menggunakan gerobak berpayung agar si penjual tidak kepanasan atau kebasahan karena hujan. Model dandanan penjualnya pun masih tetap sama, yaitu mayoritas menggunakan topi, karena mereka berkeliling menjajakan es-nya di siang hari yang menyengat. Dan yang utama, para penjual tersebut menjajakan es-nya dengan memukul gong sederhana yang digantungkan di gerobak mereka, sehingga bunyinya “tong.. tong.. tong..”.
Kini, meskipun es tong-tong tidak lagi sepopuler dulu, namun ia masih tetap punya pelanggan setia, yang membuatnya masih bertahan di tengah arus zaman yang semakin menghimpit keberadaannya.
-*-
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H