Mohon tunggu...
Pendidikan

Kemampuan Keaksaraan Berproses Sejak Lahir

20 April 2015   21:59 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Dalam paradigma tradisional, kemampuan keaksaraan (literacy) dipandang seakan-akan mulai berproses ketika anak belajar atau berinteraksi dengan aksara (baca-tulis). Paradigma ini menyebabkan orangtua atau guru menempuh cara-cara parsial dalam membantu membangun kemampuan keaksaraan anak.

Salah satu bentuk intervensi yang lazim muncul adalah drill pengenalan huruf, drill membaca abjad, drill menulis abjad, drill mengenal suku-kata, drill mengenal kata dan seterusnya, sampai pengenalan kalimat. Sering terjadi, abjad, suku-kata, dan kata yang pertama-tama diperkenalkan kepada anak tidak berhubungan dengan diri dan kehidupan anak. Ada juga deretan suku-kata yang tidak bermakna. Bahkan, ada pula susunan kata-kata menyerupai kalimat yang tidak logis.

Seharusnya kata pertama yang dikenal anak dalam proses pembangunan kemampuan keaksaraan adalah kata yang menjadi bagian dari diri dan kehidupannya. Kata dan kemudian kalimat yang disusunnya menjadi benar-benar bermakna. Itu akan menjadi pendorong anak untuk terus melakukan eksplorasi pengetahuan, sekaligus membangun perbendaharaan kosakata, dan pada akhirnya membangun kemampuan kebahasaan serta berpikir logis.

Pada dasarnya, kemampuan keaksaraan adalah sebuah proses sepanjang hidup (lifelong) yang bermula sejak anak lahir. Proses itu mencakup kemampuan mendengarkan, berbicara, membaca, dan menulis. Bahkan, sebagian ahli melacak lebih jauh lagi proses itu hingga sejak anak memiliki kemampuan menerima stimulus suara saat berada dalam kandungan ibu.

Pada fase pranatal itu, ketika anak mendengarkan suara, sesungguhnya dia sudah mulai mengembangkan kemampuan menangkap simbol (salah satu bagian dari kemampuan komunikasi). Kemampuan dasar itu (mendengar) menjadi prasyarat mutlak untuk menjejak ke tahap-tahap kemampuan lanjut menuju kemampuan keaksaraan.

Itu sebabnya, (dalam Metode Sentra) Sentra Persiapan yang menjadi wahana utama pembangunan kemampuan keaksaraan menyediakan aneka alat bermain yang memberi banyak kesempatan anak untuk membangun kemampuan klasifikasi bentuk, warna dan ukuran. Ketika anak mampu mengerjakan pekerjaan seriasi, seperti menyusun ronce dengan memadukan ketiga tiga variabel tersebut sekaligus (bentuk, warna, dan ukuran), maka itu pertanda dia sudah matang untuk memasuki jenjang aksara. Namun, Sentra Persiapan tidak berdiri sendiri. Di Sentra Bahan Alam, anak berkesempatan untuk berlatih menguatkan otot-otot tangannya. Di Sentra Seni anak berlatih koordinasi motorik kasar dan halusnya. Dan seterusnya.

Dalam konteks inilah seyogyanya dipahami pesan yang tersirat dari Pasal 69 Ayat 5 Peraturan Pemerintah No. 17 Tahun 2010. Anak usia dini (TK/RA/PAUD) bukan “dilarang belajar” keaksaraan. Tidak ada yang salah dengan pengenalan aksara pada usia dini. Namun, pemberian menu dan beban belajar keaksaraan yang tercerabut dari proses keseluruhan tumbuh-kembang anak adalah sesuatu yang bukan hanya tidak perlu, tapi juga merugikan anak.

Sumber: komunitas metode sentra Indonesia

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun