Mohon tunggu...
dyahmeritha
dyahmeritha Mohon Tunggu... Freelancer - Writer

Gak tau kenapa aku merasa hanya lewat tulisan aku bisa menggambarkan semua perasaan, pikiran yang aku pikirkan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Arah Langkah Bapak

8 Desember 2024   13:30 Diperbarui: 8 Desember 2024   13:34 28
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

 Sebuah desa kecil yang dikelilingi hamparan sawah, tinggallah seorang pria tua bernama Bapak Raji. Rambutnya yang sudah memutih dan tubuhnya yang mulai membungkuk tidak pernah mengurangi semangatnya untuk berjalan kaki setiap pagi. Setiap langkahnya, meski lambat, memiliki tujuan yang pasti.  

"Ayah mau ke mana pagi-pagi begini?" tanya Rina, anak perempuannya yang baru saja menikah dan tinggal kembali di rumah.  

"Seperti biasa, Nak. Mau jalan-jalan ke ladang. Cuma lihat-lihat," jawab Bapak dengan suara lembut, tapi matanya menyiratkan sesuatu yang dalam.  

Namun, bagi Rina, perjalanan Bapak setiap pagi itu bukan sekadar "lihat-lihat." Sejak Ibunya meninggal dua tahun lalu, Bapak selalu mengambil jalur yang sama, melewati jalan setapak di pinggir desa, menuju sebuah pohon besar di tengah ladang yang dulu menjadi tempat favorit kedua orang tuanya.  

Rina, penasaran, memutuskan untuk diam-diam mengikuti langkah Bapak suatu pagi. Ia melihat Bapak berjalan pelan, menenteng caping tua dan tongkat bambu. Di bawah pohon besar itu, Bapak berhenti, duduk bersila di atas tikar kecil yang dibawanya.  

Ia mendengar Bapak bergumam pelan. "Bu, pagi ini cuaca cerah. Ladang masih hijau, seperti waktu kita pertama kali menanam padi di sini."  

Air mata Rina menggenang di pelupuk matanya. Ia tahu Bapak berbicara kepada almarhumah Ibu. Dalam keheningan, Rina merasakan betapa dalam cinta Bapak kepada Ibu, yang bahkan tak bisa dihapus oleh waktu atau jarak dunia ini.  

Setelah beberapa saat, Bapak bangkit. Dengan langkah pelan, ia kembali ke rumah. Rina mengikutinya dari kejauhan, tetapi pagi itu ia merasa melihat Bapak dengan cara yang berbeda. Bukan hanya sebagai pria tua yang kelelahan oleh waktu, tetapi sebagai sosok yang penuh cinta dan kesetiaan.  

Sore harinya, Rina mendekati Bapak yang sedang duduk di teras. "Pak, apa tidak capek jalan sejauh itu setiap hari?"  

Bapak tersenyum. "Capek itu kalau kita berjalan tanpa arah, Nak. Tapi kalau tahu ke mana langkah kita menuju, rasanya ringan saja. Lagipula, jalan ke ladang itu... mengingatkan Bapak pada Ibumu. Seolah-olah Ibu masih di sana, menunggu Bapak."  

Kata-kata itu menancap di hati Rina. Ia sadar, meski tubuh Bapak semakin renta, semangatnya tetap kuat, karena langkah-langkahnya bukan hanya tentang tempat, tetapi juga tentang kenangan dan cinta yang abadi.  

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun