Introduction Konflik LCS
Melibatkan banyak pihak yang bersengketa secara langsung dan tidak langsung, konflik Laut China Selatan menjadi problem krusial bagi banyak negara, terutama Asia Tenggara. Konflik ini bermula sejak dua ribu tahun lalu ketika China mengklaim kawasan Laut China Selatan dan gugusan pulau Paracel dan Spratly yang diperinci dalam peta "Nine-Dashed Line" dan dikeluarkan secara resmi oleh China pada tahun 1947. Dalam perkembangan terbaru tahun 2023, Kementerian Sumber Daya Alam China merilis Peta standar China Edisi terbaru. Peta tersebut memperluas garis batas perairan Laut China Selatan menjadi "Ten-Dashed line" yang menunjukkan perkiraan 90 persen kepemilikan China atas laut tersebut. Garis  itu ditarik sejauh 1.500 km ke selatan Pulau Hainan dan memotong ZEE (Zona Ekonomi Eksklusif) Malaysia, dekat Sabah dan Sarawak, Filipina, Brunei, Vietnam, dan Taiwan.  Klaim sepihak tersebut didasari pada peta historis China tahun 1948.
Laut China Selatan adalah wilayah strategis yang menghubungkan Samudra Pasifik dan Samudra Hindia menjadikannya jalur utama pelayaran internasional, selain itu keberadaan cadangan gas alam yang besar dan potensi ekonominya membuat keberadaan perairan ini sangat penting. Isu ini sangat mengancam kedaulatan maritim dan keamanan jalur pelayaran internasional negara-negara yang berada di bawah klaim tersebut. Pemerintah Indonesia merespons dengan tegas terhadap klaim 'Ten-dashed line' dari China, karena klaim ini mendekati Zona Ekonomi Eksklusif (ZEE) Indonesia dan tidak sejalan dengan ketentuan UNCLOS (Konvensi PBB tentang Hukum Laut) 1982, terutama pasal 74 dan 123 tentang batas wilayah negara.. Mengingat fakta bahwa China telah meratifikasi UNCLOS pada 7 Juni 1996 maka seharusnya China juga menaati pasal-pasal di dalamnya. Menlu Retno Marsudi juga menerangkan bahwa sikap Indonesia akan secara konsisten berpedoman mematuhi hukum internasional.
Upaya Penyelesaian dan Peran Indonesia
Meskipun Indonesia menjunjung sikap politik luar negeri bebas aktif, tapi posisi Indonesia dalam konflik ini menjadi penting karena hak atas wilayah maritim Indonesia, jalur lintas pelayaran, dan wilayah ZEE Indonesia berada di antara perlintasan klaim China di perairan Vietnam dan Malaysia. Jika dilihat dari kawasan regional yakni ASEAN, Indonesia juga berkepentingan untuk memastikan keamanan dan kestabilan LCS sebagai jalur pelayaran internasional. Oleh karena itu, posisi Indonesia yang hedging, yaitu bebas menjalin kerjasama Internasional dengan berbagai pihak, dapat membuat Indonesia menjadi bridge dalam konflik ini.
Indonesia mengadopsi dua prinsip dalam mengelola konflik ini, yaitu membangun kepercayaan antar pihak (coincidence building mature) dan membentuk perjanjian persahabatan serta kerjasama. Pendekatan membangun kepercayaan ini digunakan untuk mendukung proses mediasi atau arbitrase internasional sesuai dengan UNCLOS 1982, seperti kemenangan Filipina dalam kasus Permanent Court of Arbitration (PCA) 2013-19/2016 berdasarkan Lampiran VII UNCLOS 1982 yang menolak klaim "Nine-Dashed line" China. Selanjutnya, pelaksanaan kerjasama Indonesia dengan negara terkena klaim juga dapat menjadi strategi diplomasi Indonesia dalam mengamankan ancaman potensi klaim LCS yang semakin dekat dengan perairan Indonesia. Indonesia telah berusaha membentuk berbagai komunitas dan perjanjian penting untuk menjaga stabilitas di Laut China Selatan. Contohnya, pada awal tahun 1990-an, Indonesia menginisiasi workshop on Managing the Potential Conflict in the South China Sea yang fokus pada strategi mekanisme penghindaran konflik melalui kerjasama lintas kawasan klaim. Indonesia juga berkontribusi membentuk Komunitas Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community) yang ditandatangani di Lombok pada September 2003 yang diharapkan mampu meningkatkan kerjasama pertahanan antar anggota ASEAN atau luar ASEAN terutama dalam menjaga keamanan dan ketertiban kawasan LCS. Selain itu, Indonesia secara konsisten berperan aktif dalam penyelenggaraan ASEAN-China Joint Working Group (JWG) dalam implementasi Declaration on the Conduct (DOC) of Parties in the South China Sea serta mendorong penyelenggaraan negosiasi Code of Conduct Laut China Selatan meskipun sempat terkendala Covid-19.
Ancaman atau Peluang Bagi Kedaulatan Indonesia?
Peran Indonesia sejauh ini telah menunjukkan keterlibatan yang besar sebagai mediator, bridge, mitra pertahanan, penjaga stabilitas kawasan antara ASEAN dan China, serta mitra dalam penanganan klaim LCS yang merupakan ancaman non-tradisional. Klaim China yang menyinggung kepentingan Indonesia atas keamanan teritorial maritim di LCS memberikan peluang bagi Indonesia untuk mampu menunjukkan kepemimpinannya dalam menjaga stabilitas regional sesuai dengan prinsip ASEAN melalui dialog, mediasi, dan strategi pertahanan dalam mempercepat penyelesaian sengketa tersebut. Sehingga secara keseluruhan meskipun Indonesia bukan merupakan negara yang bersengketa dengan China, tapi klaim ini juga mengancam kedaulatan laut internasional yang bisa berdampak kepada keadaan ekonomi dan arus pelayaran Indonesia.
Ancaman konflik di LCS tidak hanya mengancam kedaulatan maritim Indonesia tapi juga menguji persatuan dan ketahanan nasional dalam menghadapi klaim China yang semakin agresif. Dengan menjunjung tinggi prinsip politik luar negeri bebas aktif, Â Indonesia berpeluang untuk bisa berperan besar dalam menciptakan integrasi dalam kawasan regional ASEAN. Peran aktif Indonesia menunjukkan komitmen yang mendalam terhadap hukum internasional dan perdamaian dunia sekaligus menunjukkan keseriusan Indonesia dalam mengamalkan nilai-nilai yang tercantum dalam pembukaan UUD 1945.
Saat ini, penting bagi negara-negara ASEAN untuk bersatu, memperkuat diplomasi, dan mempersiapkan strategi pertahanan yang kuat. Karena Laut China Selatan bukan hanya medan konflik, tapi juga tempat pembuktian kekuatan ASEAN sebagai kawasan regional yang kuat dan diisi oleh negara-negara yang berdaulat. Maka dari itu sangat penting menciptakan momentum dari tantangan yang kini terjadi untuk menunjukkan bahwa komitmen kedaulatan Indonesia atas wilayah perairan dapat membantu mempercepat penyelesaian sengketa ini, terutama pada negara ASEAN yang terkena klaim.
Referensi: