Penyakit tular vektor adalah penyakit yang timbul akibat vektor. Vektor adalah organisme yang tidak menyebabkan penyakit tetapi menyebarkannya dengan membawa patogen dari satu inang ke yang lainnya. Di Indonesia khususnya di Provinsi DIY, penyakit tular vektor masih sering dijumpai. Lebih parahnya lagi, penyakit tular vektor pernah menjadi KLB (kejadian luar biasa) yang banyak menimbulkan korban jiwa. Contoh penyakit tular vektor, antara lain leptospirosis, filariasis, rabies, malaria, dan demam berdarah. Demam berdarah adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dengue. Demam berdarah ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes sp. yang terinfeksi dengan virus dengue. Kementrian Kesehatan RI (2017) menyatakan bahwa gejala penyakit demam berdarah meliputi demam dua sampai tujuh hari yang disertai dengan sakit kepala, nyeri otot, dan persendian, sakit pada belakang bola mata, terdapat bintik merah pada kulit, mimisan, gusi berdarah, muntah darah, buang air besar berdarah, serta penurunan jumah trombosit sebanyak 100.000/mm3.Â
Data Kementrian Kesehatan RI tahun 2015 menunjukkan jumlah kasus DBD di Indonesia mengalami peningkatan pada tahun 2015 yaitu sebanyak 129.650 kasus. Penderita DBD di Indonesia pada bulan Januari-Februari 2016 sebanyak 13.219 penderita, dari jumlah penderita tersebut diketahui bahwa 42,72% adalah penderita pada golongan usia 5-14 tahun. Salah satu provinsi yang belum mencapai target Renstra untuk angka kesakitan DBD adalah provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Data Dinkes Provinsi DIY tahun 2014 menunjukan bahwa penderita DBD terbanyak adalah golongan usia 5-14 tahun sebanyak 355 penderita.Â
Sebaran kasus DBD di DIY tersebar di lima kabupaten, kasus tertinggi berada di Kabupaten Bantul yaitu sebanyak 622 kasus. Kasus DBD paling tinggi terjadi di Kecamatan Kasihan. Berdasarkan data terbaru Dinkes Kab. Bantul tahun 2016 pada bulan Januari -- September tahun 2016 kasus DBD di Kecamatan Kasihan mencapai 291 kasus dengan proporsi penderita terbanyak adalah golongan usia 5- 13 tahun sebanyak 82 orang. Selanjutnya Dinkes Kab. Bantul tahun 2018 menyatakan bahwa pada tahun 2017 jumlah kasus DBD turun bila dibandingkan pada tahun 2016. Pada tahun 2016 terdapat 2442 kasus DBD (IR 2,62), sedangkan pada tahun 2017 sebanyak 538 kasus (IR 0,55 ).Â
Ada beberapa faktor yang dapat mempengaruhi peningkatan dan penyebaran kasus DBD, yaitu tingginya pertumbuhan penduduk, urbanisasi yang tidak terencana dan tidak terkendali, dan vektor yang tidak terkontrol secara efektif di daerah endemis. Pertumbuhan penuduk yang tidak diimbangi dengan pemukiman yang layak secara higienitas dan sanitasi akan memberikan tempat yang baik bagi perkembangbiakan vektor, selain itu urbanisasi yang tidak terkendali juga dapat menyebabkan meningkatnya penyebaran tempat perindukan nyamuk. Kasus DBD berhubungan dengan cuaca yang hangat dan kelembapan yang tinggi. Kondisi tersebut dapat mempengaruhi perkembangbiakan vektor dan perilaku mengigit. Hal yang lainnya adalah musim hujan karena genangan air hujan akan menjadi tempat perkembangbiakan nyamuk.Â
Agar kasus DBD tidak semakin parah, maka perlu dilakukan pengendalian. Pengendalian dapat dilakukan secara fisika, kimia, maupun biologi. Pengendalian secara fisika dilakukan dengan sering membersihkan tempat penampungan air karena nyamuk Aedes sp. suka bertelur di air yang kotor. Selain itu juga dapat dilakukan penutupan tempat penyimpanan air. Hal tersebut dilakukan untuk menghindari menyediakan tempat untuk nyamuk bertelur.Â
Pengendalian kimia dapat dilakukan dengan menggunakan abate. Abate dicampurkan dalam air agar larva yang ada di air dapat mati. Pengendalian yang terakhir adalah pengendalian biologi. Pengendalian ini dilakukan dengan menggunakan agen biologis, contohnya ikan. Ikan yang biasa digunakan adalah ikan cupang. Dalam hal ini ikan berperan dalam memakan larva yang ada di air, sehingga tidak terjadi perkembangbiakan nyamuk dalam air. Jadi, untuk melawan vektor demam berdarah yang ada di Indonesia khususnya di Kabupaten Bantul perlu dilakukan tindakan pengendalian seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Oleh karena itu, mulailah melakukan pengendalian vektor sedini mungkin untuk mencegah terulangnya KLB demam berdarah sebab mencegah lebih baik daripada mengobati.Â
Penulis, Dyah Kusumasari
Fakultas Bioteknologi Universitas Kristen Duta Wacana Yogyakarta
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H