Mohon tunggu...
Dyahfitri Wulandari
Dyahfitri Wulandari Mohon Tunggu... -

sederhana & menghargai setiap detik waktu untuk hidup.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Purnama ke 17

23 April 2012   10:00 Diperbarui: 25 Juni 2015   06:15 168
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

By Dyahfitri Wulandari

“Ayah ?” tanya Dinda padaku.Ku sambut pertanyaannya dengan senyum dan belaian di kepalanya.

“Bunda, Ayah ?”

Ah, gadis berusia 19 bulan ini bahkan telah bisa merinduinya.Merindukan kehadiran seseorang yang selama 17 purnama ini hanya bisa ia dengar suaranya lewat telepon genggam.Merekam suara yang ia dengar sebagai Ayah, walau sejak usia 2 bulan ia tak pernah bertatap mata lagi dengannya.

“Kakak pengen denger suara Ayah ?” tanyaku penuh rindu.

“Mau” jawab Dinda cepat diiringi sebuah anggukan yang tegas.

Ku ambil ponsel dari dalam tasku, menekan papan angka sesuai dengan nomor ponsel milik suamiku sekaligus Ayah dari buah hatiku.Dadaku berdegub kencang.Segera nada panggil terdengar.Lama tak diangkat.Aku menunggunya dengan sabar dan penuh pengharapan, walau di dalam hati ada perasaan siap kecewa karena mungkin dering telepon dariku tak lebih penting dari urusan pekerjaannya di negeri tetangga.

Ternyata kekecewaanku menemui titik terangnya.Sampai nada tunggu itu habis, tetap tak diangkatnya.Dinda masih menatapku.Aku menghela nafas.Ku tekan re-dial dan kembali nada tunggu terdengar.Belum diangkat juga, sampai tiba-tiba terdengar pintu depan terbuka dan sosok laki-laki yang kami rindukan telah hadir di pelupuk mata.Mas Dewa datang.Aku terpaku.Dinda terpaku.Sementara Mas Dewa menghampiriku penuh senyum, menarik tangan yang masih menempelkan ponsel di telingaku, melingkarkan lengannya memelukku dan kemudian mencium keningku, lama.Aku tersedu dalam bahagia.Seulas senyum membingkai wajah penuh air mata.

“Itu Dinda ?” bisik mas Dewa.

Aku mengangguk, sembari meminta Dinda menghampiri kami berdua.Serta merta Dinda menerima pelukan Ayahnya.Ikatan batin Ayah dan anak yang tak bisa dijelaskan dengan kata-kata.Mas Dewa menghujani Dinda dengan ciuman sayang sementara Dinda terkekeh riang.Sesekali Mas Dewa menatapku dan mengedipkan sebelah matanya.Aku tersenyum.Teringat dulu saat kami masih sering bersama.

“Maafkan Mas ya dek, sudah hampir satu setengah tahun ini tak menjengukmu dan Dinda,” kata Mas Dewa kepadaku sementara Dinda masih dalam dekapannya.

Aku mengangguk.Kehadirannya yang tiba-tiba dan kebahagiaan yang ia bawa cukup membuat perih di dada, yang sempat ku simpan 6 bulan terakhir ini, kembali muncul.Namun tak ku hiraukan.

Pelan, aku bersimpuh di kakinya.Melepas sepatu dan kaos kaki Mas Dewa.

“Sudah dek, nanti Mas lepas sendiri.Kamu sendiri terlihat pucat, pasti letih merawat Dinda sendirian.”

Aku tersenyum sambil menahan perih.Air mata menetes pelan.Namun begitu, kuteruskan juga melepas sepatu dan kaos kaki Mas Dewa, menciumi ujung jarinya satu persatu dan kulanjutkan dengan memijit perlahan telapak kakinya.Kulihat mata Mas Dewa memerah menahan haru, sementara perih di dada kiriku semakin menjadi.Aku mencari kekuatan dengan menghela nafas panjang dan memejamkan mata dengan tanganku tetap memijit telapak kaki Mas Dewa.Kekuatan yang pada akhirnya berujung pada kegelapan panjang penuh kedamaian.

Selamat tinggal Mas Dewa,

Selamat tinggal Dinda,

Ini bakti terakhirku,

Dan aku mencintaimu,

Selalu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun