[caption id="attachment_162647" align="aligncenter" width="300" caption="by Dhony Priyambodo & Dyahfitri Wulandari (no peserta 139)"][/caption] Jika kau melihatku sekarang, maka aku tak lebih dari seorang laki-laki berusia lebih dari paruh baya yang sudah tidak bisa dibilang muda lagi, bertubuh “sedikit” tambun, berkulit gelap dan bertampang gahar. Ayah bagi 5 anak-anakku dan seorang suami dari sesosok perempuan yang mencintai dan menyayangiku tanpa syarat.
Aku bukan seorang pegawai lagi, sudah purna tugas semenjak anak laki-laki pertamaku berumur 24 tahun dan sudah bisa menyisihkan sebagian nafkahnya untuk kebutuhan hidupnya sendiri dan membantu adik-adiknya bersekolah walaupun cuma sebagian. Namun apapun itu, dia sudah membuatku bangga karena dia adalah insiyur pertama di rumah ini.
Duduklah di sampingku dan ijinkan aku bercerita, tentang paruh hidup yang sudah ku jalani....
Dahulu aku bekerja di sebuah perusahaan BUMN yang bergerak dibidang ekspedisi muatan kapal laut (EMKL) di sebuah kota pesisir di Jawa Tengah. Namun karena upah yang kudapat tidak sebanding dengan resiko yang ku terima, akhirnya aku hijrah ke Semarang, melepaskan pekerjaan yang sudah ada demi niat memperbaiki nasib.
Perjalananku dikota lunpia ini kutempuh agar cita-citaku tercapai. Memang , aku bukan termasuk seorang yang pintar. SMP saja kutempuh dalam waktu 4 tahun dan SMA ? Sama, 4 tahun juga. Hal ini dikarenakan pada saat aku duduk di kelas II SMA, terjadi peristiwa G-30-S/PKI. Sekolah yang ku jalani dengan semangat ’45 harus tertunda penyelesaiannya. Namun begitu, aku tak menyerah. Kemampuanku yang tak seberapa ini harus diimbangi dengan kemauan yang gigih. Dan akhirnya, ijazah SMA berhasil ku dapatkan.
Selepas SMA, aku berniat mencoba memperbaiki kondisi ekonomi keluargaku yang jauh dibilang dari kemewahan karena ayahku hanya seorang mekanik di perusahan Djawatan Kereta Api (DKA) kala itu. Gayung bersambut. Sebuah perusahaan EMKL di Semarang menerima ijazah SMA-ku. Namun bukan berarti perjuanganku berhenti sampai di sini. Sambil bekerja, aku mencoba untuk menjalani kehidupan sebagai mahasiswa di sebuah akademi keuangan di kota yang sama. Aku mencoba untuk memberikan yang terbaik untuk orang tuaku di daerah. Tapi apa mau dikata, ternyata perjalananku sebagai mahasiswa harus terhenti karena aku tak dapat menyelesaikan skripsiku. Waktu dan kondisi keuangan tak mengijinkanku menjadi seorang sarjana muda.
Karena aku tak dapat menyelesaikan kuliah, maka aku bertekad bekerja dengan penuh semangat untuk dapat memberikan yang terbaik untuk orang tuaku. Saking semangatnya, aku sampai melupakan diriku yang sudah tak lagi muda.
Di usia 29 tahun, usia yang pada jaman itu sudah dianggap “telat”, aku baru memberanikan diri untuk melirik seorang gadis. Itupun ku dapatkan tak jauh-jauh dari lingkungan aku tinggal. Dia keponakan dari ibu kostku. Seorang gadis yang cerdas dan menawan. Lama ku amati dia. Saat sudah dekat dengannya pun aku sering dihinggapi rasa minder yang luar biasa. Bagaimana tidak, dia dari golongan berada dan berpendidikan. Sudah begitu, dia masih termasuk keturunan darah biru. Duuuhhh.......apakah dia akan melirikku ? Entahlah. Yang pasti, hal itu justru menjadi tantangan pertamaku.
Aku memberanikan diri untuk bermain kerumah, berkenalan dengan kedua orang tuanya. Sungguh tak ku sangka karena ternyata apa yang selama ini aku takutkan sebenarnya hanya ketakutanku sendiri saja. Mereka menerimaku dengan tangan terbuka. Padahal jelas-jelas mereka tahu latar belakang keluargaku. Aaahhh.....angin segar seolah bertiup, mengusir gundah yang tak jelas juntrungnya.
Nasib baik masih mau berteman denganku karena ternyata aku hadir disaat yang tepat. Cerita punya cerita, ternyata si gadis tersebut baru saja putus cinta dengan mantan pacarnya. Berita ini ku sambut dengan gegap gempita. Tak perlu ada lagi kesempatan yang harus ku sia-siakan. Kuberanikan diri untuk mengajaknya jalan-jalan dan nonton bioskop. Bak gayung bersambut, dia mau kuajak jalan, “tapi sekedar makan saja” katanya. “Oke”, jawabku. Akhirnya perjalanan cintakupun dimulai. Sampai akhirnya aku memberanikan diri untuk meminangnya secara pribadi. Kuberitahukan kepadanya bahwa aku ini bukan dari kaum bangsawan, aku hanyalah anak dari seorang mekanik di djawatan kereta api. Tak lupa kuceritakan jika aku telah bekerja dengan lingkungan kerja yang ekstra keras. Semua kuceritakan agar dia dapat memahami kehidupanku.
Setelah beberapa waktu lamanya kami menjalani hubungan ini, akhirnya kuberanikan diri meminta orang tuaku agar datang ke Semarang dan meminang tambatan hatiku ini. Orang tuaku sempat khawatir dengan status dan derajat kami. Tapi keLuarga calon istriku tak mempermasalahkan hal itu, mereka malah memberikan tanggapan yang sangat menggembirakan.