Apa kabar para diskriminator? Baik ahli maupun bawahan. Dengan terhormat sapa iramaku berniat menerabas prinsip hidup jiwamu. Dimana orang tua perempuanmu? Syukur, jika masih diberi nafas nan merdu. Aku tak lupa menyelipkan tanya ini pada salam penuh hangat dariku, bocah terlalu tengil dari sudut dusun yang berkutik mencari uluran. Hai, kapan kau puas dengan tiap tindak kaku gemulaimu menyiapkan sodoran-sodoran caci, cemooh serta kucilan syahdumu kawan? Beruntung jika salam hormat pada ibu masih kau kukuhkan. Kadar kepekaanmu semoga masih ambil peran. Perempuan melakukan ritual mengkretek bukanlah ironi ataupun hiperbola seru gemuruh batinku. Tak letih bergumam akal ini memberi perintah tegas pada ragaku agar tak lesu melakukan pembelaan. Bukan atas nama kaum atau gender, tapi hakikat sebagai manusia. Perokok bukan tersangka. Mereka hanya pemain-pemain gagah utusan Tuhan guna laksanakan peran. Bahaya asap rokok alasan mencuapnya gambar-gambar tak layak secara visual di tiap sudut wadah tegap batang-batang rokok. Salah apa? Memang ada secuil salah, tapi tak sebesar emisi gas kendaraan bermotor efek buruknya. Sadarlah kalian diskriminator yang terhormat lagi terpuji. Tunduk ragaku pada ahli seperti kalian. Ahli membelah hidup tiap insan jadi seperdelapan, sepertigapuluhdua atau seperlimaribu menjadi bulir dendam dan putus asa. Tak selayaknya kau memberi tempat terhormat pada wanita di bawah pria kala bicara perihal rutinitas merokok. Perempuan berhak membeli, mempunyai, membuka, menyentuh, menghidupkan, dan dengan segala syahdu hembus udara kemudian menghisapnya. []
Senyum, sapa nyiur yang terhormat para penegak diskriminan.
Dyah Eka Pratiwi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H