Mohon tunggu...
Dyah Dee
Dyah Dee Mohon Tunggu... -

Just ordinary women.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Delusi

17 Juni 2011   03:37 Diperbarui: 26 Juni 2015   04:26 230
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com


Assalamu’alaikum. Pagi Liana… Langsung saja ya. Doni sudah cerita semuanya. Sebelumnya makasih banget, itu suatu kehormatan besar banget buat aku. Tapi maaf… lebih baik tali silaturahim ini hanya sebatas teman atau saudara. Sekali lagi maaf. Semoga Allah menunjukkan yang terbaik. Wassalam.

Alhamdulillah... Innalillahi... Astaghfirullah... Entah yang mana di antara tiga kata itu yang harus ku ucap begitu membaca pesan singkat di layar handphone-ku. Tubuhku langsung terkulai lemas. Tak ku sadari, air mataku telah menganak sungai membasahi mukena yang belum sempat aku lepas usai shalat subuh tadi. Seharusnya mas Adam tidak terburu-buru mengambil keputusan karena kondisinya saat ini tidak bisa membuatnya berpikir jernih.

“Kenapa, mas Adam? Liana boleh tahu kan alasannya?” tanyaku seminggu kemudian.

“Karena aku sudah menganggapmu sebagai saudaraku sendiri,” jawab mas Adam sambil menatapku sekilas lalu sibuk memainkan jari-jari tangannya.

Apa kekuranganku? Bukannya kamu sudah tahu latar belakang keluargaku yang cukup baik, kualitas agamaku, karakterku? Apakah aku kurang cantik? Atau kurang memenuhi standar kriteriamu? Atau karena perbedaan kita yang terlalu tajam? Berbagai spekulasi hadir dalam benakku, tapi aku tak berani mengungkapkannya.

”Ya memang cuma itulah alasanku,” lanjutnya seolah tahu bahasa non verbalku meragukan jawabannya.

Sejenak keheningan menyergap, desiran angin malam mulai terasa dingin. Aku berusaha untuk tetap tenang sebelum mulai bicara lagi. ”Liana bisa ngerti kok. Selama ini Liana juga menganggap mas Adam sebagai kakak Liana,” ucapku dengan senyum agak kupaksakan. Entahlah, apakahdia tahu kecamuk dalam diriku lewat intonasi suara yang ku tekan pada setiap kalimat yang ku ucap selama lima belas menit pertemuan itu. Pertemuan terakhir yang akan menjadi delusi panjangku.

Aku yakin pasti kamu punya alasan lain, gumamku lirih setelah dia beranjak pergi. Dengan mata berkaca ku tatap sosok yang aku kagumi itu hingga hilang dari pandanganku, seakan aku belum rela melepas kepergiannya.

***

”Kenapa kamu nggak ngomong sama aku dari dulu?” tanya mas Doni setelah aku ceritakan tentang perasaanku terhadap mas Adam, sebulan sebelum kepergian sahabatnya itu. Rasanya ingin ku tutupi mukaku agar kakak tingkatku itu tidak bisa melihat rona kemerahan di wajahku.

Aku sadar yang aku lakukan ini melawan tradisi. Tradisi Indonesia memang tidak mengizinkan wanita untuk mengungkapkan perasaannya secara asertif. Sebagian besar masyarakat masih menganggap tabu atau bahkan memalukan bagi wanita yang lebih dahulu menyatakan perasaannya kepada laki-laki. Namun, dalam Islam toh tak ada aturan yang melarang hal itu. Ibunda Khadijah saja mendahului melamar rasulullah, lewat orang ke-tiga tentunya. Bahkan, pernah ada seorang wanita yang menawarkan diri secara langsung kepada rasulullah dan beliau tidak menyalahkannya.

Risau hatiku semakin tak menentu. Itulah saat-saat paling mendebarkan dalam hidupku. Apapun yang terjadi aku harus mengatakan ini padanya sebelum suatu saat nanti menjadi bom waktu yang bisa saja meledak lebih dahsyat. Keputusan ini bukan hanya emosi sesaat dari seorang Apriliana yang akan menginjak usia dewasa, tapi melalui proses panjang untuk menggenapkan separuh agama.

***

Kepakan sayapku tlah membawaku terbang tinggi menembus awan, mengejar matahari yang sebentar lagi tinggalkan bumi. Namun sesaat aku terpental jatuh, matahariku semakin jauh tinggalkan diriku dengan sayap yang patah. Salahkah bila aku masih berharap matahari akan kembali berikan senyum padaku???

Sudah tiga bulan lalu badai itu datang pertama kali dalam hidupku, menghancurkan setahun penantian dan mimpiku, tiga bulan sudah ku tangisi ketidakmampuanku menaklukkan waktu. Aku masih belum bisa menerima kenyataan ini. Andaikan sebelum lahir ke dunia manusia boleh memohon, aku ingin dilahirkan dari rahim yang sama dengannya saja.

”Setelah hidupnya mapan sekarang, apa mungkin dia mempertimbangkan aku lagi?” ungkapku pada Asti, sahabatku, tanpa menoleh sedikitpun padanya. Tanganku sibuk memainkan sedotan di dalam gelas dengan tatapan mata kosong. ”Apa aku salah jika aku masih berharap dia berubah pikiran?” kali ini ku tatap dia lekat-lekat.

Ada rasa kasihan di sorot mata gadis seusiaku itu. ”Yang namanya perasaan nggak bisa dipaksakan, Liana. Mungkin saja dia merasa lebih nyaman dengan persahabatan kalian selama ini,” Asti mencoba memberi pengertian padaku.

Aku tak mengerti maksud kata-kata Asti, lebih tepatnya aku lagi malas berpikir. Ku tutup mukaku dengan kedua telapak tangan lalu menghembuskan napas panjang seolah ingin ku lepas sebuah beban berat. Studiku mulai kacau. Aku mulai apatis dengan masa depanku. Hidupku terasa hampa.

Apakah cinta tidak pernah cukup dengan dirinya sendiri? Kenapa cinta harus dibarengi dengan kata jatuh sehingga menimbulkan rasa sakit tak terperi? Adakah satu kata di atas kata cinta yang bisa mengobati rasa sakit itu? Jika pernikahan adalah jawabnya, tidak cukupkah cinta mewakili segala rasa yang ada?

***

Beberapa hari yang lalu mas Adam datang ke kota ini. Spekulasiku mulai bermain. Apa untuk Rima? Tidak mungkin, toh Rima sudah punya kehidupan sendiri. Rima adalah jawaban yang ku cari dulu. Entahlah bagaimana mas Adam bisa kenal dengan temanku sejak SMA itu. Informasi yang ku dapat, mas Adam memendam rasa terhadap Rima, tapi belum sempat ia mengungkapkannya, Rima sudah dilamar orang lain. Fakta mencengangkan itu datang tiba-tiba di saat aku mengalami titik jenuh kehidupan. Sejak saat itu celah harapanku semakin besar.

Atau... untuk aku? Spekulasiku bermain lagi, tapi segera ku tepis karena aku tidak mau terjatuh lagi. Seminggu ini ku coba menenangkan hatiku.

Dengan bahu terguncang aku terduduk lemas di samping tempat tidur. Asti yang baru saja datang dengan keceriaan khasnya langsung diam dan duduk di sampingku.

”Ternyata dia bukan untuku,” kataku dengan terisak. ”Hari ini mas Adam kembali lagi ke tempat tinggalnya sekarang,” lanjutku.

”Boleh saja kamu menangis, bukan untuk dia, tapi untuk kesedihanmu. Kamu perempuan yang kuat, aku yakin kamu bisa menghadapinya. Pasti ada hikmah di balik kepedihan ini,” hibur Asti.

Aku mulai sedikit tenang. Tak sengaja ku lihat sebuah tulisan di buku yang tergeletak di meja: Demikian sayangnya, sampai-sampai Allah tidak rela menjodohkan kita dengan seseorang yang kita sangka sebagai pelabuhan cinta kita.

***

”Seandainya dia mengiyakanpun, ayah dan ibu tidak akan menyetujui karena kita tidak cocok dengan latar belakang keluarganya. Mencari pendamping itu bukan hanya baik bagi diri kita, tapi juga baik bagi keluarga dan agama kita.”

Aku benar-benar terkejut dengan kata-kata bijak wanita mulia yang telah melahirkanku itu. Setelah hampir setengah tahun peristiwa itu terjadi aku baru cerita pada ibu.

Ya Allah, apakah ini hikmah dari semua kejadian yang aku alami? Tak dapat aku bayangkan perdebatan panjangku dengan orang tuaku seandainya itu terjadi. Akhirnya Dia berikan jawaban atas keraguanku selama ini. Seharusnya aku lega dengan hal ini, tapi kenapa masih ada yang mengganjal di hati? Sebegitu sulitnyakah memunculkan sikap ikhlas terhadap ketentuan-Nya?

Sesaat aku terperangkap dalam dimensi yang tak ada logika, berharap itu hanya mimpi yang terbunuh. Ketika aku tersadar bahwa itu nyata, dengan segenap hati ingin ku mengucap: maafkanlah bila aku tak sempurna mencintai-Mu. Ternyata begitu susahnya menjaga hati. Ternyata tidak mudah menjaga cinta suci-Nya di saat ada cinta yang lain hadir. Harusnya aku tetap menjaga Ruh cinta suci itu agar tidak terkalahkan oleh cinta duniawi. Mulai saat ini aku akan berusaha untuk menjalani kata tawakal itu, dan saat inilah puncak proses perjuanganku. Aku yakin, skenario-Nya tengah berlangsung; Dia telah mengatur yang terbaik untukku dan akan menjadikan indah pada waktunya nanti.

***

Solo, Maret 2009

*Delusi adalah sebuah keyakinan yang tidak dapat dibuktikan kebenarannya secara rasional, biasanya digunakan dalam konteks psikologi abnormal.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun