Mohon tunggu...
Dyah Ayu Novitasari
Dyah Ayu Novitasari Mohon Tunggu... -

aku orangnya simple

Selanjutnya

Tutup

Catatan

Hidupku Bagaikan Perahu Kertas

9 Maret 2011   13:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:56 657
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1299678095189029023

Aku menggambarkan hidupku seperti perahu yang kubuat dari kertas lipat dan kuikat dengan seutas tali kemudian kumainkan di air.

Awalnya perahu itu kutarik talinya perlahan-lahan agar perahuku tidak cepat rusak. Seperti awal aku hidup mulanya aku tidak dapat berjalan kemudian ibu membantuku untuk berjalan agar aku mampu berjalan dengan benar ibu selalu mengajariku dan mengarahkanku bagaimana caranya berjalan dengan benar. Ibu berkata kepadaku, ”jika nanti tangan ibu tidak lagi memapahmu kemudian kamu terjatuh, berdiri dan mulailah berjalan maju jangan kamu menoleh kebelakang dan kembali menghampiriku” . Perahuku terus berlayar mengikuti aliran air dan tali yang kuikatkan kini tak lagi ada namun aku tetap berjalan di sampingnya memperhatikannya dan membantunya jika nanti kutemukan batu, ranting atau tanaman liar yang menghalangi perjalananya. Ada batu kecil yang mudah dilalui ada pula batu besar yang sulit untuk dilalui. Ada ranting yang ikut hanyut bersama perahuku ada pula ranting yang menyangkut di bebatuan atau tanaman liar sehingga perahuku harus berbelok agar dia dapat terus berlayar sampai tujuan. Seperti ketika aku mampu berjalan sendiri dengan percaya diri aku berjalan namun jika aku tidak berhati-hati maka aku akan terjatuh lagi. Tidak selamanya jalan yang aku lalui itu semulus yang kuinginkan. Mungkin kakiku dapat terluka karena aku melewati jalan berkerikil tajam atau mungkin saja jalan yang aku lewati benar-benar mulus seperti yang aku inginkan. “Aku harus tetap berhati-hati”, itu pesan ibu. Tiba-tiba perahuku menemui percabangan. Tidak mungkin jika perahuku melewati dua percabangan itu kemudian kubelokan perahuku pada salah satu cabang agar dia dapat berlayar sampai tujuan. Ibu berkata kepadaku, “dalam sebuah perjalanan hidup ada kalanya aku mampu berpikir kemudian memilih apa yang harus aku pilih”. Ketika aku mulai mengerti dan mampu berpikir, “Mengapa kedua orang tuaku bercerai ?” aku tidak lagi menyalahkan mereka, diriku sendiri atau hidup ini tetapi aku mampu memahami apa yang terjadi dan aku mampu menerima keadaan ini. Butuh waktu lama perahuku berlayar dari tempat yang satu ke tempat yang lainnya. Begitu juga dengan aku, butuh waktu yang cukup lama agar aku mampu berpikir, berani memilih, mampu menerima dan memahami suatu keadaan. Aku belajar dari banyak pengalaman untuk melangkah ke masa depan. Kini aku berjalan semakin jauh semakin jauh pula kini perahuku berlayar namun kini aku dan perahuku tak lagi sendiri. Berbagai tempat dan berbagai rintangan aku lewati di perjalanan aku bertemu dengan teman-teman, mereka membuat perahu yang sama sepertiku dan kita bermain bersama. Jika kita melewati bebatuan yang menghalangi perjalanan perahu kita maka bersama-sama kita saling membantu perahu-perahu itu menghindari bebatuan. Kita saling membantu dan berbagi bersama dalam keadaan senang dan sedih hingga satu persatu dari kita pergi. Dan tinggallah aku sendiri dan perahuku yang mulai kusut.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun