Entah betul, entah salah logika saya ini, jika sakit di Indonesia, ketika kita datang ke Rumah Sakit, ada beberapa pos pajak yang akhirnya dibebankan pada pasien, komponen yang paling sederhana adalah obat, obat yang diperjual-belikan di Indonesia harga yang dibayar oleh konsumen sudah termasuk Pajak Pertambahan Nilai, belum lagi jika kita telusuri ke belakang ketika impor bahan-bakunya, kemungkinan ada juga pajak yang dikenakan, belum lagi pajak pada alat kesehatan, baik yang sekali pakai ataupun alat diagnostik canggih yang masih impor.
Jika Dokter sebagai pemberi pelayanan di Rumah Sakit dikenai pajak penghasilan logikanya, pajak penghasilan dokter sebenarnya dibayar oleh pasiennya. Misalnya tarif dokter Rp.50.000,-, potong pajak penghasilan, katakanlah sekitar 10%, berarti yang diterima dokter sudah dikurangi pajak Rp.5000,-, jika
tidak ada pajak penghasilan, dokter bisa saja menerima Rp.45.000,-, pasien cukup bayar Rp.45.000,-
.
Belum lagi, komponen-komponen lainnya, tinggal dihitung berapa kira-kira pajak yang "harus dibayar oleh masyarakat" jika sakit dan memilih pergi ke Rumah Sakit. Berapa persen dari total biaya yang dikeluarkan
Semoga salah logika saya ini, sungguh malang nasib rakyat Indonesia sudah sakit berobat ke Rumah Sakit tetap kena pajak juga, lebih baik pergi ke pengobatan alternatif, biasanya para pelaku pengobatan alternatif "bebas" dari pajak penghasilan, kalaupun menggunakan obat, obatnya herbal diambil dari kebun sendiri.
Semoga penggunaan pajak yang dikumpulkan dari masyarakat yang sakit, dikembalikan sebagai anggaran kesehatan seperti pembiayaan Jamkesmas, sehingga dapat dikatakan orang sakit membiayai orang sakit yang lain, jadi motonya berubah sakit sambil beramal.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H