Mohon tunggu...
Dyah Ayu Puspagarini
Dyah Ayu Puspagarini Mohon Tunggu... -

learn, think, act

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Renungan Malam untuk Kebahagiaan

15 Maret 2015   22:19 Diperbarui: 17 Juni 2015   09:36 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Beberapa hari yang lalu saya mendapat kabar tentang bapak mertua dari sepupu saya yang sedang sakit dan keadaannya sudah lumayan parah. Beliau adalah seorang pensiunan pejabat di salah satu bank di Indonesia.  Beliau memang sudah lama mengidap penyakitnya dan semakin parah setelah pensiun. Menurut cerita dari saudara-saudara yang lain, beliau seperti shock pasca pensiun. Mungkin karena dulu saat masih menjadi pejabat, semua kebutuhan beliau dapat dipenuhi dengan begitu mudahnya. Namun ketika pensiun, tidak ada lagi kemudahan yang biasa beliau terima seperti biasa. Padahal menurut saya, keluarga beliau semua hidup berkecukupan. Semua anak-anaknya telah bekerja secara mandiri dan beberapa sudah membina rumah tangga. Namun, mengapa beliau bisa merasa tertekan hingga memperparah penyakitnya?

Sudah 4 minggu ini saya menerima kuliah pendidikan agama di kampus. Selama kuliah tersebut, dosen saya yang juga seorang penulis buku motivasi, kebanyakan memberikan kuliah tentang bagaimana seharusnya hidup dan mencapai kebahagiaan sebenarnya. Menurut beliau, kehidupan manusia saat ini dapat disebut sebagai era kegagalan. Alasannya, banyak manusia yang tidak merasa bahagia dalam hidupnya. Padahal mereka mungkin adalah seseorang yang dalam pikiran semua orang kehidupannya hampir sempurna. Mereka telah mencapai cita-citanya dalam hidup, memiliki materi yang berlimpah, dan semua kemudahan dapat mereka dapat dengan mudah. Namun, ketika beberapa dari mereka ditanya apa mereka sudah bahagia dengan hidupnya, mereka menjawab tidak.

Bukti lain yang menyebabkan zaman ini disebut era kegagalan adalah kerusakan yang sangat masif pada lingkungan, alam, dan kehidupan kita. Di bidang lingkungan, lihat saja kerusakan hutan dimana-mana, efek pemanasan global yang semakin terasa, dan berbagai bencana alam yang semakin sering terjadi. Di bidang ekonomi, harga-harga kebutuhan hidup semakin meroket dan nilai rupiah semakin melemah. Di bidang sosial kejadian-kejadian pembegalan kendaraan bermotor semakin marak sehingga keamanan masyarakat terganggu. Apalagi di bidang politik, keadaan politik di Indonesia saat ini semakin membingungkan dan kita sendiri tidak tahu arah politik kita akan dibawa ke mana.

Semua kerusakan tersebut, baik kerusakan alam, sosial, maupun pada diri seseorang, disebabkan sifat dasar manusia yang memang tidak pernah puas terhadap sesuatu. Contohnya, bila seseorang dulu hanya menginginkan handphone biasa untuk berkomunikasi, kemudian dengan perkembangan teknologi, ia menginginkan handphone yang memiliki kamera, dan semakin ke sini teknologi semakin canggih, ia menginginkan smartphone, dan setiap ada tipe smartphone terberu, ia selalu mengiginkannya. Padahal, sebenarnya ia, tidak benar-benar memerlukan semua fitur yang ada di smartphone canggihnya. Oleh karena itu, kini kasus korupsi semakin masif terjadi di semua kalangan dan semakin terstruktur. Itu semua karena sifat para koruptor yang tidak pernah puas dengan apa yang telah mereka peroleh. Padahal dengan pendapatan mereka yang sudah cukup tinggi (bagi para pejabat pemerintahan) ditambah dengan tunjangan-tunjangan yang mereka dapat, saya kira kebutuhan dasar mereka sudah pasti terpenuhi. Bandingkan dengan para manusia-manusia yang kurang beruntung dibandingkan mereka yang hanya bisa hidup menggelandang di jalanan.

Itulah yang sebenarnya dikejar manusia selama ini. Kesenangan fana di dunia. Bukan kebahagiaan sejati dalam hidup. Mereka menyalahartikan kebahagiaan sebagai kesenangan. Kebahagiaan bagi mereka adalah memiliki rumah mewah, mobil banyak, tanah di mana-mana, tabungan di berbagai bank. Padahal itu semua hanya bersifat sementara. Malah semua itu menimbulkan perasaan cemas dan khawatir bagi mereka. Karena rumahnya mewah, ia mempekerjakan penjaga-penjaga di setiap sudut rumahnya, kemana-mana pergi dengan pengawal pribadi, setiap hari takut bila tiba-tiba hartanya tiba-tiba habis dan ia jatuh miskin, ditambah lagi bila hartanya dimiliki dari hasil yang tidak halal, ia selalu merasa diliputi perasaan bersalah dan takut bila kejahatannya diketahui.

Memang tidak salah bila kita ingin memiliki harta seperti rumah, mobil, berbagai alat elektronik canggih, dan lainnya. Namun hendaknya kita menginginkannya dalam batas yang sewajarnya. Karena semua yang berlebihan itu memang tidak baik.

Nah, jadi sebenarnya apa kebahagiaan yang sejati itu. Kebahagiaan sejati itu, adalah yang berasal dari batin kita. Ketenangan batinlah yang sesungguhnya merupakan kebahagiaan. Ketika batin kita tenang dan menerima segala apa yang kita miliki dengan rasa syukur, di situlah kita sudah menemukan kebahagiaan. Kalau kata dosen saya, bahagia itu saat di mana kita tahu bahwa perjalanan hidup kita mendapat ridha dari Allah SWT.

Jadi tidak salah kalau kita sebagai manusia menginginkan harta. Namun, bagaimana cara kita dalam mencari harta itulah yang penting. Walau tidak punya uang banyak, yang penting bisa makan tiga kali sehari, bisa memilikik pekerjaan dengan gaji yang layak, beli kedaraan untuk transportasi kemana-mana seharusnya kita sudah bisa bersyukur. Ya walaupun ada teman kita yang sudah bisa beli rumah, mungkin namanya itu kita tidak senang. Tapi kalau Allah mengizinkan dan kita berusaha maksimal, bukan tidak mungkin kita juga akhirnya bisa memiliki rumah sendiri. Jangan lupa, bahwa materi tidak akan kita bawa ke akhirat nanti. Amal kita yang akan menentukan masuk ke golongan mana kah kita. Golongan orang-orang yang beruntung, atau golongan orang-orang yang merugi.

Kembali ke bapak mertua sepupu saya, mungkin beliau selama ini hanya mencari kesenangan. Bukan kebahagiaan sebenarnya, seperti menghabiskan waktu di masa tua dengan bahagia bersama istri dan cucu-cucunya dan memperbanyak ibadah dan amal bagi sesama.

Mungkin tulisan ini sok menggurui. Siapa saya bisa-bisanya menulis seperti seorang profesor di bidang filsafat yang sudah lama memikirkan kehidupan di dunia ini, atau seperi ustadzah yang sudah sering berdakwah di mana-mana. Di sini saya hanya seorang muda, yang baru menerima sedikit ilmu dan belajar menerapkannya pada sendiri, kemudian mencoba berbagi kepada orang lain.

Saya juga dalam tahap belajar untuk benar-benar memahami arti kebahagiaan. Walau saya kadang-kadang juga masih tergoda oleh kesenangan belaka....

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun