Mohon tunggu...
Catatan

Kearifan lLokal di Tengah “Modern” nya Jogjakarta

13 April 2015   17:44 Diperbarui: 17 Juni 2015   08:09 18
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di bukit ujung jogja sana masih di temukan keluarga dan tatanan masyarakat yang kearifan lokal nya masih sangat terjaga. Ini dapat kami lihat sewaktu kami melakukan perjalanan susur pantai Pok Tunggal sampai Pantai Ngitun. Apa yang kami lihat disana sangat memprihatinkan, Tanah kering , Rumah warga jauh dari kata layak, berjauhan dari tetangga, dan untuk sekedar minum saja warga harus naik turun bukit hanya untuk mengambil sedikit air yang dapat dipikul mereka.

Sempat kami bertanya-tanya ,darimana mereka mendapat uang? Dimana mereka berbelanja kebutuhan sehari-hari? Setelah kami melihat dan bertemu salah satu warga disana , kami sangat heran dan trenyuh karena ternyata dia tidak bisa sama sekali berbahasa indonesia. Ya memang kami kesulitan untuk sekedar bertanya ,karena kami harus menggunakan bahasa jawa halus. Tetapi rasa penasaran kami belum berhenti sampai disitu ,Kami tertarik untuk bertanya seputar kehidupan dia dan warga setempat.

Ketika kami beristirahat di salah satu hutan , kami bertemu bapak itu untuk kedua kalinya. Dan untuk kai ini kami tidak ingin hanya sekedar menyapa. Dan ternyata bapak itu sepertinya ingin sekali untuk sekedar bercerita dengan kami. Salah satu teman kami pun ada yang mendekatinya ,dan ketika kami memberi bapak itu makanan, ia berkata “iki dinggo bapak ibukku karo anakku” yang artinya “ini buat ayah, ibu dan anakku”. Padahal kami tahu bapak itu pasti kelaparan tetapi dia masih memikirkan orang yang ada dirumah yang menunggu dia. Kami lanjutkan dengan pertanyaan yang lain ,bagaimana jika ingin berbelanja? Bagaimana jika ingin minum? Dan bapak itu bercerita bahwa untuk berbelanja dia harus naik turun bukit yang sangat jauh sekali dari hutan itu.

Kami juga melihat sumber mata air di dekat tempat kami beristirahat tetapi mata air itu hanya terdapat sedikit sekali air. Kemudian bapak itu juga mau bercerita  tentang kehidupannya bersama keluarganya. Ternyata untuk mendengar radiodan melihat televisi saja tidak ada. Kalaupun ada itu jauh di desa sedangkan dia berada di dalam hutan. Tak hanya itu, utuk mengganti pakaian yang melekat di badan saja dia tidak punya banyak seperti kita orang yang masih lebih beruntung dari dia. Tapi ada salah satu yang menarik, yaitu disana sudah ada pemilu. Tetapi ya itu tadi untuk memberikan hak suara saja harus naiik turun bukit, kata dia beberapa bukit yang ada disitudijadikn satu TPS yang menurut kami dari cerita bapak itu sungguh tidak layak sekali.

Dari awal kami beristirahat sampai akhir , bapak itu terus bercerita yang kadang kami tidak mengerti harus menjawab apa. Kemudian setelah selesai beristirahat kami hendakmelanjutkan perjalanan lagi dan bapak itu berbicara dalam bahasa jawa yang artinya “kenapa harus pergi sekarang, nanti saja karena saya masih mau bercerita supaya saya tidak kesepian”. Mendengar kata itu kami sangat terharu karena ternyata tak semua orang yang hidup mendapat kebahagagiaan.sangat jauh berbeda dengan kami yang setiap hari bisa bercanda gurau, mungkin waktu bapak itu sudah habis untuk naik turun bukit hanya untuk bertahan hidup.

Hari sudah menginjak sore dan kamipun sampai di pantai ngitun, dan sesampainya disini kami juga sangat terheran heran sekali ,karena begitu indahnya pantai ngitun tak sebanding dengan fasilitas umum yang ada disini. Bahkan hanya untuk mencuci kaki kami harus berfikir kembali karena bapak yang menjaga toilet semi permanen ini untuk mendapatkan air saja susah. Jangankan kamarmandi tempat untuk sholat saja tidak ada apalagi orang yang menjual makanan, di dekat pantai itu hanya ada 2 rumah ,rumah yang pertama hanya untuk kandang ternak dan rumah yang kedua menjual makananyang entah apa yang dijual disitu yang itupun letaknya agak jauh dari pantai itu. Bisa dikatakan belum banyak orang yang mengenal pantai ini. Kalau kita inginSumber mata air yang paling dekat dari pantai itu kita harus berjalan sekitar 2km dari pantai itu, itupun jalannya naik.

Dan ketika kami hendak membereskan tenda kami melihat ada seorang ibu dan kedua anak kecil  yang sedang asyik bermain pasir. Kami pun tertarik untuk bertanya seputar pantai ngitun ,tentang mengapa orang tidak ada yang berjualan disitu, dan ibu itu menjawab karena ketidakadanya modal lah penyebabnya. Dan tragisnya lagi ternyata ibu dan kedua anak kecil itu bukan penduduk asli pantai itu, dia hanya sekedar ingin menemani cucu-cucu nya yang ingin bermain di pantai dan berharap ada rezeki yang bisa dibawa pulang hari itu, sampai-sampai ibu itu meminta kepada kamiuntuk meninggal sampah yang kami sudah kumpulkan , dan ketika kami bertanya untuk apa ibu itu hanya ingin mengumpulkan botol aqua kosong yang ada .Dan jarak dari rumah ke pantai tidak bisa dikatakan dekat karena juga harus naik.

Tetapi ada rasa syukur bagi kami ketika di pantai ini ,yang berbeda dengan kehidupan bapak-bapak yang kami bertemu di hutan karena disini yang kami juga bertemu ibu dan kedua cucunya yang  sudah sedikit-sedikit bisa berbahasa indonesia agak lancar. Ketika kami hendak pulang , jalan yang kami lewati sangat jauh dari dugaan kami sebemnya, truk saja tidak bisa sampai bawah dekat pantai. Kami harus berjalan agak jauh yang ternyata kami harus berjalan sampai dekat dengan mata air. Disitu kami menemukan pemandangan yang menurut kami sangat kurang pantas ,karena ternyata norma kesopanan dan norma kesusilaan belum terlalu berjalan dengan baik. Tetapi kami memakluminya sebagai hal yang wajar.

Dan kami sangat terkejut ternyata bak penampungan yang ada di mata air itu bukan bantuan atau pemberian dari pemerintah. Yang kami herankan , selama ini kemana pemerintah? Selama perjalanan pulang itu sama sekali kami tidak menemukan puskesmas ataupun balai pengobatan. Mungkin ketradisionalan mereka masih erat dalam kehidupan sehari-hari. Menit demi menit kami lalui ada jalan rusak , ada jalan sedang (sudah di beri semen) kemudian ada jalan aspal yang sebelum itu kami menemukan 1 sekolah dasar dari pantai sampai disitu. Tetapi yang masih kami pertanyakan sejauh itukah anak-anak harus berjalan kaki hanya untuk bersekolah? Sejauh itukah anak dari bapak-bapak yang ada di hutan menggapi sekolah. Yang kami prihatinkan juga mengapa kesejahteraan hidup warga ini tidak merata? Tidak sesuai dengan janji janji pemerintah ketika kampanye itu berlangsung?  Padahal di dalam Uud 1945 sudah disebutkan hak hak sebagai warga negara. Sangat jauh ketika kita bandingkan dengan keadaan masyarakat kota yang sudah makmur (katanya). Apakah kearifan ini akan terus begini saja tanpa ada uluran tangan sang penguasa? We just always pray and help  you .

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun