Apa yang membuatmu bertahan hidup sampai saat ini? Agaknya kalimat tersebut bisa menjadi titik rasionalitas pada tulisan ini. Sebagai manusia biasa, sebetulnya agak aneh ketika kita tidak memiliki arah akan pergi dan jalan kembali. Bukankah setiap bangun tidur kita selalu membayangkan apa saja yang akan kita lakukan di hari itu?
Tujuan tidak semata-mata dirangkai menjadi satu kesatuan harapan setiap individu. Kehidupan yang berjalan sampai saat ini adalah korelasi antara kerja keras, takdir, harapan yang dimiliki setiap individu. Roda yang menggerakan manusia untuk bekerja keras adalah keinginan untuk berhasil. Berhasil untuk apa? Berhasil mewujudkan keinginannya yang sesuai dengan harapan.
Menapaki usia seperempat abad menjadikan saya sering bergelut dengan pertanyaan "Tujuan hidupmu apa?". Bersyukurlah bagi individu yang juga sedang berada di usia seperempat abad ini dan telah memiliki tujuan hidup. Namun jumlah ini tidak sedikit dibandingkan individu yang tidak memiliki tujuan khusus untuk menjalani hidup.
Bagi sebagian individu, tujuan hidup adalah hal yang sangat penting. Glorifikasi atas cita-cita sedari kecil, misalnya dokter, pilot, dan polisi terkadang melekat sampai dewasa. Harapan ini pun sebetulnya mengambang, ada yang memiliki keuntungan untuk mewujudkannya, ada pula yang harus menyerahkan mimpi tersebut akibat kenyataan hidup lain.
Ketika kecil, para orang tua akan sangat memanjakan anak-anaknya untuk bermimpi setinggi mungkin. Orang tua ini mungkin tidak sadar, bahwa selagi mereka membuka harapan bagi anak-anaknya, baiknya mereka juga harus mempersiapkan anak mereka apabila mimpi-mimpi tersebut gagal di tengah jalan. Orang tua sebaiknya harus memberikan pengertian dan nasihat yang kompleks tentang akibat bagi anak-anaknya kelak ketika mimpi yang diagungkan sewaktu kecil harus tertampar dengan kenyataan hidup lain.
Sepele, namun itulah yang menjadi titik awal bagaimana anak-anak harus memiliki pemahaman tentang melepaskan sesuatu yang diimpikan sejak lama. Karena banyak kasus yang terjadi bahwa ketika individu mencapai usia dewasa dan mimpi kecilnya tidak terwujud, maka dunianya terasa hancur dan tidak berarti lagi. Individu yang gagal atas mimpinya cenderung akan menyalahkan takdir dan dirinya sendiri. Alhasil ia akan kebingungan untuk menata tujuan hidupnya kembali.
Ini pun yang terjadi pada saya. Ketika mimpi yang telah saya rakit sedemikian rupa dari A-Z ternyata harus dipendam karena takdir berkata lain. Saya tidak sadar bahwa rencana jika tidak ada keluasan ridha Tuhan maka akan menjadi bubur yang tidak akan bisa menjadi nasi kembali. Pada titik ini, saya hancur. Saya merasa tidak memiliki tujuan lain untuk hidup karena memang mimpi itulah tujuan hidup saya. Namun keterpurukan ini justru membuat saya berpikir ulang tentang tujuan hidup.
Tujuan hidup ini sebetulnya berbanding lurus dengan tingkat idealisme kita. Semakin tinggi idealisme dalam diri kita, maka tujuan hidupnya akan semakin tinggi pula. Namun ada saatnya di mana idealisme ini harus tunduk pada realita kehidupan yang tidak selalu ideal. Ketika idealisme runtuh, maka tujuan hidup akan runtuh pula. Sulit bagi individu-individu yang tidak memiliki self-esteem untuk menata hidupnya kembali. Karena tujuan hidupnya adalah titik penopang mengapa ia bekerja keras selama ini.
Saya sempat hilang akal tentang apa yang harus saya benahi terlebih dahulu ketika tujuan hidup saya musnah. Kegamangan antara membenahi idealisme saya yang harus diturunkan ataukah tujuan hidup yang harus diubah. Poin yang pertama itu sungguh sulit, karena kepribadian ini sudah dibangun sejak kecil. Poin kedualah yang sepertinya dapat dirakit kembali meski korelasinya sangat erat dengan idealisme saya.