Gus Dur dan buku seolah tak bisa dipisahkan. Beberapa jam sebelum malaikat maut menjemput pun, Gus Dur masih ’membaca’ dengan mendengarkan audiobook. Dalam deraan sakit yang dirasakannya, semangatnya tak padam untuk menambah dan menambah ilmu, yang seakan tiada pernah cukup baginya.
Memang, membicarakan Gus Dur, seakan membuka lembar demi lembar buku terbukayang tiada habisnya. Mengikuti jalan pikiran Gus Dur seakan mengikuti arah aliran air yang berkelak-kelok entah dimana muaranya. Tak akan ada habisnya membaca dan mengikuti pemikiran Gus Dur yang luas dan menembus cakrawala. Gus Dur meninggalkan kita semua dengan sebuah warisan berharga. Selain soal pluralisme, kecintaannya pada buku membuat kita harus menaruh hormat yang tinggi pada mantan presiden ke-4 RI ini.
Terlahir di lingkungan pesantren, tak pelak mendekatkan Gus Dur dengan dunia baca. Sejak usia Sekolah Dasar, ia sudah terbiasa membaca buku-buku kelas ’berat’. Menurut penuturan Solahudin Wahid (adik Gus Dur) Gus Dur sejak Sekolah Dasar sudah terbiasa membaca buku-buku tebal yang selayaknya dikonsumsi untuk usia yang jauh di atasnya.Kebiasaan membaca sedari kecil mengasah kemampuannya membaca sekaligus memahami isi bacaan dengan sangat cepat. Bahkan, karena buku yang dibacanya, Gus Dur mampu menguasai beragam bahasa asing yang ia pelajari secara otodidak melalui buku. Hal menarik ini diceritakan Fahry Ali (kawan Gus Dur sejak di LP3ES) ketika diwawancarai salah satu televisi swasta. Ketika itu, cerita Fachry, Gus Dur menginap di apartemen Fahry di Melbourne saat ia menempuh pendidikan di ANU (Australian National University). Fahry membuktikan sendiri bahwa Gus Dur mampu membaca dan memahami buku secara cepat karena saat di Melbourne puluhan buku dilahap Gus Dur. Bagi Fahry, Gus Dur adalah pecinta buku sejati, meskipun ia baru berada di luar negeri, hobi membaca tak pernah ditinggalkannya.
Efek lain dari kegemaran membaca Gus Dur adalah ia menjelma menjadi sangat pintar menulis dantulisannya pun sangat kaya. Terlepas dari augerah Yang Kuasa akan kecerdasan dan kepandaian yang dimikinya, kebiasaan membaca membuatnya menjadi kaya dalam menuangkan gagasan dalam tulisan-tulisannya. Terbukti ia menjadi langganan penulis kolom di harian Kompas dan majalah Tempo. Tulisannya pun sangat beragam. Mulai dari budaya, pesantren, agama, Islam kekinian, politik , hingga sepakbola. Gus Dur tidak memerlukan waktu yang lama dalam menulis sebuah kolom. Bahkan Solahudin Wahid menceritakan bahwa pada masa mudanya, pada saat Gus Dur akan membuat tulisan kolom di majalah Tempo, tidak memerlukan waktu lama untuk menulis sebuah artikel. Cukup datang ke kantor redaksi Tempo, meminjam mesin tik manual, menulis dengan cepat, dan hasil tulisan selalu jaminan mutu dan up to date, sehingga sudah pasti tulisan tersebut dimuat, dan honor pun selalu langsung dapat dikantonginya. Bahkan dalam kondisi sakitpun Gus Dur pernah membuat kata pengantar buku berbahasa Inggris hanya dengan sekali saja mendengarkan isi buku tersebut. Gus Dur mampu membuat kata pengantar buku berbahasa Inggris tersebut dengan baik dan benar. Padahal, kata Gus Solah (sebutan Solahuddin Wahid), jika dia hendak membuat pengantar sebuah buku, memerlukan waktu yang lama dan membaca berkali-kali. Itulah unik dan istimewanya Gus Dur.
Budaya baca yang tinggi telah memberikan efek positif yang sangat besar dalam diri Gus Dur, akan tetapi sayang bahwa kebiasaan membaca yang sangat tinggi kurang diimbangi dengan sikap membaca yang baik dan benar. Gus Dur biasa membaca dimana saja, bahkan sejak kecil terbiasa membaca dengan cahaya hanya dari teplok (lampu tempel).Dengan cahayayang kurang sempurna tersebut membuat efek buruk pada kesehatan matanya. Pada usia muda ia sudah berkaca mata minus 15. Keadaan ini diperparah ketika stroke merampas penglihatan Gus Dur. Tetapi dasar Gus Dur, keadaan itu seakan tidak memusnahkan obor semangat untuk tetap membaca dan menambah ilmu. Cara yang dilakukan adalah ”membaca” dari audiobooks atau dengan cara dibacakan oleh puteri dan asistennya. Bahkan pada saat Gus Dur menjadi presiden, ataupun setelah tidak menjadi presiden, kebiasaanya setiap pagi adalah dibacakan berita-berita koran hari ini oleh Yenny Wahid, puterinya.
Bukti kecintaannya terhadap buku dan ilmu adalah pada saat ini, setelah wafat, Gus Dur meninggalkan ribuan buku yang tersebar dimana–mana, sekaligus meninggalkan beragam tulisan di pelbagai tempat. Ia pun memberi contoh serta bukti nyata kepada anak-anaknya akan cinta baca dan ilmu, sehingga saat ini pun keempat puterinya mengikuti jejak ayahnya yaitu gemar membaca. Bahkan untuk mengenang kecintaan Gus Dur kepada buku dan ilmu, keluarga besar Gus Dur berencana membangun perpustakaan yang kelak bisa dimanfaatkan oleh seluruh lapisan masyarakat.
Warisan yang Gus Dur tinggalkan tidak hanya ribuan buku secara fisik, akan tetapi bukti nyata akan kecintaan dan keistiqomahan dalam mencintai buku dan ilmu. Begitu dalam warisan yang ditinggalkan Gus Dur. Tidak hanya untuk keluarganya, akan tetapi untuk semua anak bangsa, bahwa kita harus cinta ilmu serta tak kenal lelah terus menambah wawasan dengan membaca dan ”membaca” betapapun keterbatasan yang kita miliki. Gus Dur telah mewariskan teladan yang nyata, dengan segala keterbatasannya. Deraan sakit jasmaninya tidak lantas meruntuhkan rohaninya dalam membutuhkan asupan ilmu dengan membaca dan terus membaca.
Lalu, apakah kita yang diberi keleluasaan pengelihatan dan kesehatan,tidak merasa tersindir dan tergerak hati untuk selalu memanfaatkansetiap helaan nafas yang masih ada pada jasad kita untuk mencari ilmu dengan membaca dan membaca? Sungguh, Gus Dur telah mempraktekkan salah satu tuntunan nabi Muhammad SAW yaitu tuntutlah ilmu dari buaian hingga liang lahat. Semoga keistiqomahan Gus Dur dalam mencari ilmu selama di duniamenjadi cahaya penerang di dalam istirahat panjang di sisi Tuhannya. Amin.
Selamat jalan Gus Dur, Duta Baca Sejati negeri ini.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H