"Kalau Mama sama Papa lagi ada masalah, bisa ga, enggak ribut depan aku? Apalagi depannya devon?" Pintaku pelan kepada papa. Dimana moodku saat ini, benar benar tidak stabil.
"Kalian itu selalu aja ribut masalah duit." Jedaku tapi tetap berusaha tenang.Â
"Apa ga capek gitu, ngomong sebentar sehari sampai dua hari. Terus besoknya udah libur lagi, kaya mit semester sd. Aku yang lihat kalian gitu aja capek. Ngerasa dirumah ini nih, udah ga betah. Panas muluk, mau emosi bawaannya."
"Kalau Mama sama Papa masih mau ribut lagi, yaudah silahkan. Syifa udah gak mau ikut campur sama kalian. Udah dewasa, tapi sikapnya belum dewasa sama sekali. Ga jujur, ga terbuka, pantes aja tiap hari ribut."
"Udah Fa? Kalau udah Papa mau ngomong juga."
"Ngomong apa? Mau nyalahin Mama lagi? Udah basi Pa, bosen dengernya. Apa Papa juga ga koreksi diri, kalau Papa juga salah. Jangan bisanya nyalahin doang, tapi giliran salah gak mau ngaku."
"Lama lama kamu tuh sama kaya Mamamu, Fa."
"Kalau aku ga mirip sama Papa, Mama. Terus mirip siapa?"
Plakk. Bunyi tamparan keras mendarat pada wajahku. Aku hanya bisa tersenyum getir, ketika itu terjadi. Tak bersuara lagi, langsung pergi dari rumah menggunakan sepeda motor. Menghiraukan Papa yang mencoba memanggilku berulang kali.
"Mas, kamu apain sih Shifa sampai aku denger suara tadi? Jawab mas?"
"Ini semua gara gara kamu Ma. Kalau kamu ga banyak ngomong. Ga bakalan aku emosi kaya gini."