[caption id="attachment_317453" align="alignnone" width="320" caption="bersamadakwah.com"][/caption]
“Keadaan hati seorang mukmin sangat penting untuk diperhatikan,
karena Kondisi hatiyang berubah-ubah akan menjadikan keimanan menjadi turun naik,
dalam hal ini Rasulullah SAW bersabda, Dinamakan hati karena ia (selalu) berbolak-balik.
Perumpamaan hati itu bagaikan bulu yang ada di pucuk pohon yang diombang- ambingkan oleh angin.”
Aku membaca hadist itu berulang-ulang dan berusaha memahami hadist itu.
Tanpa sadar hatiku berceletuk, “Sebenernya jodoh itu siapa sih yang menentukan?
Boleh tidak kalau kita tentukan sendiri”.
Akuberhayal,sambiltersenyum menyembunyikanhatikuyangrapuh.
Astagfirullahal’adzim, begitu jauhkah hati ini pada-Nya. Hingga aku punya fikiran
seperti itu. Lalu aku segera mengambil air wudhu dan menunaikan shalat Isya’.
“Ampuni hamba ya Rabb, bimbinglah aku untuk selalu berjalan dijalan-Mu”.
Di Saat-saat seperti ini, aku hanya bisa memohon yang terbaik kepada Allah.
Memohon agar Allah menjaga hati ini dari sebuah rasa yang memang belum layak di
rasakan, aku memohon perlindungan agar tidak berharap terlalu lebih pada sosok seperti
dia. Faisal, dia adalah sosok laki-laki dengan cover yang baik hati, berakhlak santun,
agamis, dan prestasinya yang patut diacungi jempol. Aku mulai mengaguminya sejak
semester 2, sejak aku sering melihat dia diperpustakaan. Dan sekarang aku sudah
semester 6, begitupun Faisal. Setiap aku lihat dia aku menjadi ingat seseorang yang
pernah mengisi hatiku saat SMA, namanya Ilham, tapi orangtuanya tidak setuju kita
berteman terlalu dekat, hingga akhirnya orangtuanya memutuskan agar Ilham kuliyah di
Sudan Afrika. Semenjak saat itu aku mulai memperbaiki diri, mendalami ajaran islam,
selalu menjaga hati, dan aku tidak ingin dekat-dekat lagi dengan seorang laki-laki. Aku
hanya ingin dekat dengan Allahku. Tetapi, berbuat baik apalagi memperbaiki diri itu
memang tidak mudah, banyak sekali ujiannya.Diantaranya sosok Faisal. Sekarang entah
kenapa, dalam do’a panjang memohon ampunan, ada rasa ingin menyelipkan namanya
di akhir do’a. Ada yang tidak beres dengan hati ini. Ya Allah, kuatkan imanku untuk
menjaga hati ini. Aku hanya ingin Kak Ilham yang menjadi jodohku.
Siang ini perkuliyahan sudah selesai, namun kakiku terasa berat untuk
melangkah pulang. Ada rasa bimbang yang menyelinap. Sepertinya aku tau kenapa ini,
aku memang harus jauh-jauh mengusir rasa yang belum pantas aku rasakan. Prioritas
utamaku saat ini adalah hanya ingin memperbaiki diri dan terus mendekat kepada-Nya,
menjaga diri, dan juga menjaga hati. Aku duduk digazebo depan kampus, aku melihat
Faisal dan Arman sedang berjalan menghampiriku.
“Ukhti, nunggu siapa?” sapa Arman temannya, sekaligus temanku satu kelas juga.
“ Cari inspirasi Bang”, jawabku tersenyum kepadanya.
“ Cari inspirasi apa bermunajab, kalau sedang bermunajab lebih baik di masjid saja”.
Kata Arman menggodaku.
“ Cari inspirasi buat cerpen baru Bang”
“ Suka nulis juga Ra, sama berarti sama aku”. Sambung Faisal.
Deg.... Kata-katanya membuat aliran darahku terasa berhenti. MasyaAllah, jaga hati ini
Ya Rabb.
“ Iya Bang, sekedar ngisi waktu luang aja sih”. Jawabku dengan menunduk.
“ Oke, semangat terus ya !” Ucap Faisal.
“ Aku sama Faisal mau ke kantin dulu, Ukhti mau ikut?” Ajak Arman
“Duluan Aja Bang, aku masih tertarik untuk lebih lama duduk disini”
“Yaudah, kita duluan, Assalamu’alaikum”
“Wa’alaikumsalam.”
Mereka berlalu, sementara disini aku masih terdiam. Angin menarik-narik
jilbabku yang lebar. Seperti hendak menghibur diriku yang masih bungkam. Rasa
ngantuk mulai menyerang, padahal cerpen yang aku tulis belum menemukan endingnya.
Kulirik jam tanganku, masih jam setengah 3 sore. Masih lumayan lama untuk
menunggu waktu sholat Ashar. Tapi aku segera pulang karena kelihatannya hujan akan
turun.
Petir menyambar-nyambar sore itu, ia membangunkan diriku dari alam mimpi.
Bersamanya suara adzan maghrib terdengar sangat merdu, mendorongku untuk segera
mengambil air wudhu dan bersujud kepadanya. Hati ini begitu terasa damai. Kuputar
tasbihku satu persatu, dzikir ini terasa membuat aku semakin dekat dengan Allahku.
Diluar angin masih sangat kencang, dan hujan belum ada tanda-tanda akan berhenti.
Lalu kulipat sajadahku, sambil memutar tasbih berdzikir kepada-Nya. Air mataku
menetes, aku teringat tasbih ini, pemberian terakhir Ilham sebelum berangkat ke Sudan.
Dia berpesan agar aku selalu mendekatkan diri kepada Allah. Dia juga bilang, hanya
Allah yang menjagaku saat dia sudah tidak bersamaku lagi.
Bersama tetesan hujan dijendela, aku melukiskan namamu disana
Tetesan hujan diatas atap menjadi melodi indah saat dirimu tak ada
Mengiringiku kedalam dunia mimpi
Untuk mengungkapkan segala rindu yang tak pernah terungkap
Jika aku harus amnesia, jika aku harus melupakan semuanya
Biarlah sebuah tasbih pemberianmu yang menjadi satu-satunya kenangan terindah
Jika semalam hanya mimpi, aku ingin segera tidur dan mengulanginya kembali
Apakah ini, dan untuk siapa senyum itu
Jika ini cinta, bolehkah aku menyimpannya
Jika kelak kita berjodoh, tolong simpan senyum itu..
Mungkin ada yang tidak setuju dan tidak memberikan restu
Tapi, aku yakin Allah Maha memungkinkan segalanya.
Air mata mengalir di pipiku lagi saat aku merangkai puisi itu bersama senja. Ya
Allah, aku menangis, apakah aku menangis untuk Ilham? Aku selalu mengingat dan
menunggunya di setiap senja. Walaupun kelihatannya tidak mungkin tetapi aku yakin
Allah memungkinkan segalanya.
“Permisi, boleh saya duduk disini?” Seorang laki-laki berkacamata hitam lumayan
membuat jantungku melonjak.
“Oh iya, Silahkan”. Jawabku sambil mengambil jarak dari tempat yang aku duduki
semula.
Kami saling diam beberapa saat. Sebenarnya aku paling tidak berharap diposisi seperti
ini, harus duduk dengan laki-laki yang bukan mahramku.
“Mahasiswi kampus ini ya?” pertanyaan yang aneh keluar dari mulutnya.
Tanpa melihat wajahnya lagi aku menjawab pertanyaan laki-laki itu.
“Iya”.
“Fakultas Apa” Tanyanya lagi
“Bahasa” Jawabku singkat
“Semester berapa?” Tanyanya lagi
“6”
“O, Sombong banget sih,” tambahnya lagi.
Aku hanya tersenyum. Kemudian dia melanjutkan kata-katanya.
“Kok tidak marah saya bilang kamu sombong?”
Aku hanya terdiam, dan menjawab pertanyaannya dengan senyuman.
“Lihat sini kenapa? Diajakin ngomong juga nunduk aja. Lupa ya, sama saya?”
Kenapa laki-laki itu berkata seperti itu?sepertinya aku tidak asing dengan suara itu.
Lalu aku jadi penasaran untuk melihat wajahnnya,
“Lupa ya??”dia bertanya lagi dengan senyum yang menyelidik.
Aku kaget, dia membuka kaca matanya. MasyaAllah ternyata..
“ Kenapa, kaget ya?”
“ Kak Ilham, sejak kapan disini?”
“ Sejak tadi, waktu kamu ngbrol sama cowok-cowok tadi” Jawabnya dengan senyum
“ Katanya sedang menjaga hati?” lanjutnya lagi
“Maksudku sejak kapan Kak Ilham pulang dari Sudan?” tanyaku dengan senyum
kegembiraan yang tidak bisa ku tutupi lagi.
“Sebelum tak jawab, jawab dulu pertanyaanku, kenapa tadi ngobrol sama cowok-
cowok?”
“Itu temen kak, tadi mereka nyapa aku aja”
“Bener temen? Deket?”
Aku diam, aku sudah faham karakter kak Ilham, dia memang arogan, tapi aku
tahu sikap arogan itu bertujuan baik untukku, dia mengajariku banyak hal, terutama tentang agama. Dulu kita memang dekat, tapi Kak Ilham selalu menjaga aku segala hal
yang tidak disukai Allah.
“Aira? kok malah diam?”
“Maaf kak, jika memang selama ini perbuatanku selalu kurang berkenan. Tapi selama
ini aku sudah berusaha memperbaiki diri, menata hati berusaha supaya bisa dekat sama
Allah, berusaha menjaga diri, selalu berusaha juga untuk menjaga hati. Itu semua aku
lakuin karena aku ingin jadi hamba Allah yang baik. Tapi jika memang Kak Ilham
masih kurang berkenan dengan semuanya, aku minta maaf.” Ucapku dengan air mata
yang mulai menetes.
“Ra, bukan gitu maksudku, aku hanya tidak ingin kamu terlalu dekat dengan laki-laki.
Aku sampai di indonesia sekitar sejam yang lalu, dan aku langsung ke sini cari kamu.
Sudah 4 tahun kita tidak bertemu, aku tahu 4 tahun ini kamu menungguku, kamu selalu
menungguku di setiap senja kan? Aku juga sudah tahu semua tentang kamu selama aku
di Sudan. Aku tahu semua usaha keras kamu untuk memperbaiki diri, aku salut sama
kamu Ra. Kamu mungkin tidak tahu juga, bagaimana susahnya aku berusaha menjaga
hati ini.Bulan lalu aku wisuda, 3 orang perempuan mengajak aku menikah. Tapi aku
tolak semuanya, karena aku sudah terlanjur sayang sama kamu Ra. Kamu tidak tahu itu
semua kan? 4 tahun aku pendam rasa itu, selama itu juga aku selalu menjaga hati ini
untuk kamu, awalnya memang aku ragu kita bisa bersama, tapi setiap malam aku sholat
tahajjud, aku sholat istikharah supaya Allah menjawab keragu-raguan itu Ra, dan
sekarang aku yakin, kamu adalah orang yang harus aku perjuangkan.”
“Maksud Kak Ilham?”
“Iya, aku akan minta izin kepada orangtuaku untuk melamar kamu. Dulu memang
orangtuaku tidak merestui kita, itu karena dulu kita masih kecil, dan belum saatnya
mengenal cinta. Tapi semoga sekarang hati mereka sudah luluh dan mau merestui kita.
Tapi aku ingin minta kepastian kamu dulu, iya atau tidak. Jika jawaban kamu iya, satu
tahun lagi aku akan balik ke indonesia dan melamar kamu, tapi jika jawaban kamu
tidak, aku akan menetap di Sudan dan tidak akan kembali ke Indonesia lagi.Fikirkan
baik-baik Ra, satu minggu lagi aku harus balik kesudan. Dan aku harus pulang
sekarang, keluargaku sudah menungguku. Assalamu’alaikum.”
“Wa’alaikumsalam”. Aku terdiam, senja mengantarkan langkahnya yang menjauhiku
pergi.
Sudah tiga malam aku bersujud bersimpuh beristikharah kepada Allah memohon
petunjuk apa yang akan aku perbuat dengan hati ini. Menjaga dan menata hati memang
prioritas penting dalam hidup, dan hati adalah ibarat sebuah besi, yang akan berkarat
jika tidak diasah dan dibiarkan saja.Dan hati juga ibarat seperti tumbuhan yang akan
layu dan mati jika tidak dirawat dan disirami. Hati manusia juga seperti itu, banyak
musuh disekelilingnya, seperti nafsu amarah, nafsu syahwat, dan setan yang selalu
mengiringi dan merusak hati itu jika tidak dibentengi dengan dzikrullah atau mengingat
Allah. Tanpa terasa setelah sholat istikharah aku terlelap dalam putaran tasbih dzikirku
kepada-Nya.
Senyum sang mentari menyambutku dibalik jendela pagi ini. Aku harus
mengambil keputusan sekarang, aku mengambil Handphone diatas meja. Namun
kuurungkan niatku untuk menghubungi Kak Ilham. Aku akan mengabarinya lewat surat
saja, supaya rasa itu lebih terkontrol dan terjaga. Lalu aku mengambil selembar kertas
dan menuliskan semuanya disitu, aku mengungkapkan perasaanku selama 4 tahun ini,
aku memberi kepastian iya, dan aku akan menunggunya satu tahun lagi untuk kembali
ke Indonesia. Tiga hari kemudian Kak Ilham membalas surat itu, dia akan kembali satu
tahun lagi saat aku wisuda.
Satu tahun penantian itu akhirnya berakhir sudah. Kini sudah tidak ada lagi
penantianku di setiap senja. Dan senja menjadi saksi kebahagiaanku hari ini. Senja ini
Kak Ilham datang melamarku. Aku sangat bahagia, aku merasa sesuatu yang dulu
pernah hilang sekarang sudah kembali dan sudah aku miliki sekarang. Terimakasih ya
Allah, Engkau sudah menjaga hati ini, dan Engkau memang maha memungkinkan
segalanya.
#Facebook : Dhiyyah (Ailbi Elsya)
Twitter: Dhiyyah