Pada hamparan luas padi yang menguning di samping rumah, aku menjatuhkan pandang.
Soreku selalu begitu; sendiri dan menanti tenggelamnya mentari.
Detik-detik menjelang senja itu selalu istimewa untukku.
Tidak ada yang betul menemaniku, selain secangkir kopi serta kicauan burung yang mesra berterbangan di atas rumpun padi itu.
Serta sekelibat ingatan-ingatan tentang kamu.
Aku selalu patah pada moment itu.
Pada setiap kejadian yang lagi-lagi terputar dalam ingatan.
Rasanya seperti kembali menyayat sendiri luka yang sama.
Luka yang masih menganga, aku sayat sendiri. Lagi, dan lagi.
Perih. Bukan main rasanya.
Ku minum perlahan, secangkir kopi itu.
Manisnya seolah mampu menghilangkan beberapa bagian luka.
Aku ingat, kita sempat berdebat perihal selera kita yang berbeda.
Aku setia pada cangkir abu-abu yang terisi penuh oleh kopi.
Dan kau, terlalu menyayangi gelasmu yang berisi teh hangat.
Hahaha!
Sudah entah senja ke berapa aku menikmati kopiku sendiri.
Tanpa ada aku yang cemburu pada bibir gelasmu yang kau ciumi berkali-kali.
Pun sebaliknya. Tanpa ada kamu yang selalu protes ketika berkali-kali aku jatuh cinta pada aroma kopiku.
Kini, pada setiap datangnya senja. Yang tersisa hanyalah aku, secangkir kopiku, dan sepotong ingatan tentang kamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H