Salam,
“Dalam keadaan rapuh aku tulis surat ini untukmu Sintaku.”
Terimakasih telah membalas surat ku yang kedua melalui mega palsu sebelah barat daya gunung sibayak. Sungguh ku tak sangka kamu tak selalu membisu, ternyata dalam kesibukanmu masih kamu sempatkan untuk membaca suratku, sampai-sampai kau membalasnya. Heuheuheu.
Kamu masih sama saja seperti dulu, kata-katamu lugas tidak suka terlalu banyak bertele-tele seperti aku. Seharusnya kata “Ibuk” itu tak perlu kamu perdebatkan dan ngomel-ngomel. Panjang sekali penjelasan tentang kata itu, ya! Aku mengerti.
Sintaku,-
Aku mengerti kamu sangat tergangu dengan ocehan-ocehan dalam suratku, tapi Sintaku aku hanya ingin memberitahumu bagaimana diriku, bagaimana kegiatanku, aku tidak pernah memaksamamu membalas surat-surat ku, aku juga memintamu membacanya di waktu senggangmu saja. Maaf jika aku berdalih lagi.
Seharusnya, kalimat “berhentilah mengirimi surat, berhentilah berharap, bukan aku tak mau, tetapi aku sudah memiliki seorang laki-laki lain,” tak perlu kau ucapkan. Kalimat itu benar-benar membuatku rapuh, hati dan fikiran berkecamuk, benarkah kalimat itu lahir dari hatimu, atau hanya dari fikiranmu yang menolak hadir diriku, berusaha membuatku tak berharap kepadamu, atau memang benar kamu sudah memiliki laki-laki lain selalin aku.
Berkali-kali Lek Tho aku perintahkan untuk membacanya berulang-ulang dibagian kalimat itu, aku masih belum percaya dengan isi baris kelima lembar kedua suratmu itu Sintaku. Tetapi, apapun yang terjadi aku harus memaksa diriku untuk mempercayai apa yang kau sampaikan itu semua.
Oya, aku sampai lupa mengenalkan Lek Tho padamu, Lek Tho lah yang mengartikan dan membacakan surat pertama mu padaku. Dia aku kenal di tepi danau laut tawar, Takengon saat aku mengembara mencari mega senja. Aku lihat ia dari kejauhan terbaring di tepi danau, kepalanya menindih kedua telapak tangannya, mulutnya komat-kamit tidak jelas. Setelah aku sapa ternyata ia sedang membaca angin. Aku terkejut Sintaku. Bagaimana mungkin angin dapat di baca, mata kita pun tak dapat menangkapnya. Kamu ingin tahu apa jawabnya ?
Kebanyakan orang membaca dengan matanya, dan meninggalkan peran hatinya, aku membuka mata hatiku, mengolahnya dalam rasa, dan mengartikannya dalam jiwa. Katanya.
Sintaku, orang sok pintar dari mana lagi ini. Mendengar jawaban itu, kaki ku langsung mengajak melangkah pergi.