Mohon tunggu...
diah wahyuningsih
diah wahyuningsih Mohon Tunggu... -

Guru SMA N. 4 Batam. Mengajar sejarah sejak tahun 2002. Senang membaca dan memasak

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

"Bulan Merindu" Sosok Kartini dalam Untaian Sejarah Bangsa

26 September 2014   17:15 Diperbarui: 17 Juni 2015   23:26 244
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Dunia feminisme begitu berkembang menjadi dinamika gender dalam kehidupan manusia. Kegagahan kaum maskulin berubah arif di hadapan kaum perempuan. Gemerlap kewibawaan maskulin seolah diseimbangi oleh sepak terjang kaum feminis, tak terkecuali gerakan modern feminisme di Indonesia. Kita banyak mengenal segudang perempuan hebat pada zamannya yang tak pernah surut mencipta segala ide kesetaraan gender. Kungkungan adat-istiadat budaya timur mengiringi perjalanan perempuan-perempuan hebat Indonesia untuk terus memperjuangkan kesamaan hak sesuai perkembangan zaman. Dalam catatan sejarah, tertoreh beberapa nama perempuan hebat yang pernah dimiliki bangsa ini. Mulai dari Malahayati, Martha Christina Tiahahu, Dewi Sartika, RA, Kartini, Rasuna Said dan sebagainya.

Pemikiran modern mereka tidak lepas dari status sosial yang disandang hingga peluang serta kesempatan mampu diraih mereka meski harus selalu berbenturan dengan budaya ketimuran. Jiwa-jiwa memberontak atas ketertidasan adalah modal bagi kaum perempuan untuk terus berperang batin demi menciptakan mimpi agar kelak ada pengakuan dari kaum pria akan keberadaan perempuan dalam menyumbangkan kehidupan manusia yang lebih baik.

Dalam catatan sejarah Indonesia, bangsa kita tidak bisa melepaskan begitu saja peran aktif perempuan-perempuan yang gencar memperjuangkan kemerdekaan. Organisasi perempuan Indonesia pertama kali muncul pada tahun 1879 sampai 1904 yang dipelopori oleh RA. Kartini. Kemunculan organisasi tersebut memiliki arti besar sebagai sumbangsih terhadap ketercapaian kemerdekaan. Kontribusi penting yang mereka lakukan semula hanya berkisar pada tataran persamaan gender (kesamaan hak). Persamaan derajat, pengakuan, dan perlindungan terhadap hak-hak kaum perempuan adalah hal mendasar dalam perjalanan kehidupan manusia. Mendirikan sekolah-sekolah bagi kaum perempuan mampu mewarnai masa pergerakan kebangsaan saat itu.

Selain Kartini, Dewi Sartika juga menjadi pelopor gerakan perempuan di Jawa Barat. Ia mendirikan sekolah Keutamaan Isteri untuk kaum perempuan di Jawa Barat. Di Minahasa pelopor gerakan perempuan dari Minahasa adalah Maria Walanda Maramis yang belajar bahasa Belanda dari suaminya, Yosef Walanda. Berkat pengetahuannya, ia sadar akan nasib kaum perempuan Minahasa yang jauh tertinggal. Maka pada tahun 1927, ia berjuang dan berhasil mendirikan organisasi PIKAT (Percintaan Ibu Kepada Anak Temurunnya).

Pada masa-masa berikutnya, kesadaran perempuan Indonesia untuk hidup lebih baik makin terbuka lebar. Ditandai dengan keberadaan organisasi-organisasi perempuan yang semakin banyak berdiri. Organisasi perempuan yang muncul semisal;


  1. Perkumpulan Kartinifonds di Semarang,
  2. Putri Merdika di Jakarta,
  3. Wanita Rukun Santoso di Malang,
  4. Maju Kemuliaan di Bandung,
  5. Budi Wanito di Solo,
  6. Kerajinan Amai Setia di Kota Gadang, Sumatera Barat,
  7. Serikat Kaum Ibu Sumatera di Bukit Tinggi,
  8. Gorontalosche Mohammedaansche Vrouwenvereniging di Sulawesia Utara,
  9. Ina Tuni di Ambon, dan lain-lain.

Selain itu, terdapat juga organisasi perempuan yang merupakan bagian dari induk organisasi yang lebih besar. Organisasi perempuan tersebut antara lain;


  1. Aisiyah (Wanita Muhammadiyah),
  2. Puteri Indonesia (Wanita dari Pemuda Indonesia),
  3. Wanita Taman Siswa.

Organisasi perempuan yang bergerak di bidang politik antara lain Isteri Sedar yang didirikan di Bandung oleh Suwarni Jayaseputra. Organisasi ini bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka. Sedangkan organisasi Isteri Indonesia pimpinan Maria Ulfah dan Ibu Sunaryo Mangunpuspito bertujuan untuk mencapai Indonesia Raya.

Organisasi-organisasi tersebut mengadakan Kongres Persatuan Wanita (Perempuan) Indonesia di Yogyakarta pada tanggal 22 sampai 25 Desember 1928. Hari pembukaan kongres tanggal 22 Desember diperingati sebagai Hari Ibu. Dalam kongres tersebut dibentuk juga PPII (Perserikatan Perhimpunan Isteri Indonesia) sebagai kumpulan organisasi perempuan.

Lintasan sejarah pergerakan perempuan Indonesia bukan lagi menjadi asing terhadap pengakuan peran perempuan. Bukti nyata keberadaan toko-tokoh perempuan Indonesia berbaur pada penyematan posisi perempuan sebagai kelompok terhormat yang tidak berhenti menggapai emansipasi. Namun sering kali peran serta perempuan Indonesia terhenti hanya karena pemaknaan siapakah tokoh dibalik munculnya ide emansipasi perempuan Indonesia. Selalu saja kesimpulan tersebut meletakan RA. Kartini selaku ibu perempuan Indonesia, pioneer serta pencetus ide emansipasi Indonesia. Keagungan nama Kartini telah disematkan sebagai hari Kartini sesuai dengan tanggal kelahirannya. Padahal, masih banyak tokoh perempuan lain yang bisa jadi lebih dulu ada dan terus menerus berusaha menembus kungkungan adat guna memperjuangkan keberadaan mereka agar terlihat di hadapan kaum pria. Contoh saja, Malahayati, nama lengkapnya Keumalahayati dari Aceh dan Martha Christina Tiahahu dariAmbon. Keberanian dua tokoh di atas dalam memimpin perang di tanah kelahiran untuk mendepak kaum imperialis Barat merupakan cikal bakal keberadaan peran perempuan di tengah-tengah kaum maskulin. Seorang Laksaman laut yang akibat keberaniannya berhasil membunuh Cornelis De Houtman yang ingin menguasai Bandar dagang di Kesultanan Aceh. Lalu Martha Christina Tiahahu, juga merupakan perempuan hebat dari Ambon yang berhasil menggempur pasukan Belanda ketika bercokol di Pulau Saparua, Maluku Tengah.

Lantas bagaimana peran Kartini? Begitu hebatkah Kartini hingga cermin emansipasi perempuan Indonesia selalu dikaitkan dengan nama besarnya? Paparan di atas bukan juga ingin mengkerdilkan salah satu perempuan hebat sekelas Kartini. Akan tetapi kita perlu meluruskan bahwa keberadaan emansipasi perempuan di tanah air harus dimulai dari tokoh-tokoh hebat pendahulu Kartini yang juga lebih dulu berperan menunjukkan jati diri perempuan sebagai bagian dari kehidupan tanpa melompati keberadaan kaum pria. Mereka lebih dulu ada bahkan lebih dulu mewujudkan mimpi untuk memperlihatkan pada dunia akan kehebatannya.

Pencitraan Kartini dilakukan oleh kelompok dominan secara hiperbolis melalui buku-buku sejarah dan ritual setiap tanggal 21 April. Lewat buku-buku sejarah yang diajarkan di sekolah, Kartini dianggap sebagai sosok perempuan terhebat di Indonesia. Dia dianggap pemikir kemajuan dan pembebas kaum perempuan pribumi dari kebodohan dan keterbelakangan. Sosok Kartini juga dianggap sebagai perempuan yang mampu melawan belenggu feodalisme, kawin paksa dan poligami serta sejumlah penindasan, sehingga kedudukannya begitu diagungkan dalam sejarah Indonesia.

Dibalik itu semua, ada hal yang berusaha dielakkan tentang bagaimana hidup Kartini sebenarnya. Perang batin di diri Kartini seyogyanya menjadi cermin kehebatan Kartini yang hanya mampu dia tuliskan dalam surat-suratnya kepada para sahabat Belanda Kartini, seperti Ny J Rosa Abendanon, Stella Zeenhandelaar, Ny N Van Kol, GK Anton dan lainlain. Penolakan poligami, adat ‘pingitan’ bagi perempuan Jawa sebelum dinikahkan sehingga perempuan Jawa dianggap tidak perlu bersekolah karena jodoh mereka sudah ditentukan oleh keluarga. Kritikan Kartini terhadap poligami yang sering dilakukan oleh priyayi Jawa serta keinginan Kartini untuk mendirikan sekolah bagi anak-anak perempuan, seperti mimpi yang tidak kesampaian. Imajinasi Kartini lewat tulisan-tulisannya inilah, pada akhirnya membuat Ny. Abendanon berupaya mewujudkan dalam sebuah buku berbahas Belanda berjudul ‘Door Duisternis tot Licht’ yang secara harfiah berarti Dari Kegelapan Menuju Cahaya. Pada tahun 1922, buku ini diterbitkan dalam bahasa Melayu oleh Balai Pustaka dengan judul ‘Habis Gelap Terbitlah Terang’: Boeah Pikiran.

Pada kenyataannya, semua ide Kartini memperjuangkan kesetaraan gender (emansipasi), seolah mimpi yang tak berkesudahan (Bulan Merindu). Kartini tetap harus menjalani ‘pingitan’ sebelum dinikahkan dengan Adipati Rembang. Sekolah untuk perempuan sebagai bagian cita-citanya tidak terwujud. Dan malangnya lagi kebencian Kartini terhadap kebiasaan priyayi Jawa yang berpoligami, membawa Kartini menjadi salah satu istri dari Adipati Rembang.

Tetap saja, mainstream Kartini terhadap cita-citanya meraih kesetaraan gender, tidak lantas dianggap sebagai pola pikiran modern perempuan pada zamannya. Satu hal lagi yang terlepas dari perdebatan, adakah kita tahu bahwa Kartini sudah menjadi perempuan Jawa yang memposisikan dirinya sebagai sosok perempuan modern Eropa yang menganggap perempuan pribumi subaltern (lemah, bodoh dan terbelakang). Hal ini pernah disampaikan penulis seperti Misbahus Surur (2006) melukiskan Kartini sebagai seorang ‘perempuan pemimpi’. Kartini hanya mampu bermimpi dan impiannya itu hanya bersifat utopia belaka. Kartini juga dianggap menganut pola pikir yang dikotomik yang mendiskriminasi perempuan pribumi sebagai kelompok subaltern. Penulis seperti Gadis Arivia (2003) melihat bahwa Kartini yang bersentuhan dengan pengetahuan Barat, justru memposisikan dirinya sebagai perempuan barat yang modern dan maju, sedangkan perempuan pribumi dianggap sebagai subaltern.

Kartini muda membeci budaya Patriarhi Jawa tetapi terjebak pada budaya Patriarhi Jawa yang tertindas, bodoh dan terbelakang. Menolak poligami, kawin paksa, bermimpi mendirikan sekolah, serta menjadikan dirinya perempuan pemikir modern namun terjebak pada situasi yang bertolak belakang dari mimpinya.Meski demikian, Kartini telah menjadi bagian Pahlawan Nasional Indonesia yang tercatat dalam Untaian Sejarah Bangsa sebagai Pelopor Emansipasi Perempuan Indonesia. Melalui Kartini pula kita bisa meninjau ulang atas peran perempuan. Perbandingan peran Kartini terhadap tokoh-tokoh perempuan pejuang sebelum dia, sudah bermuara pada pengenalan sejarah bangsa. Dengan begitu pro-kontra Kartini sebagai ibu emansipasi perempuan Indonesia mengawali peninjauan kembali sejarah perempuan Indonesia. Sehingga diharapkan Historiografi Perempuan Dalam Sejarah telah berwarna disebabkan oleh pro dan kontra atas sosok Kartini.

Rekam Jejak sejarah perempuan Indonesia akan lebih berperan andil dalam menciptakan gambaran bagaimana selayaknya kita bertindak. Tetap saja perempuan pada kasus-kasus tertentu menjadi kelompok marginal yang dikorbankan. Dengan memposisikan perempuan sesuai dengan kodratnya, keterwakilan perempuan di segala bidang kehidupan harus terus diperjuangkan. Kaum perempuan wajib menyadari bahwa kita dan mereka sudah sepantasnya merubah mindset demi melahirkan generasi baru yang lebih baik. Dari perempuan akan muncul generasi tangguh yang mewariskan ketangguhan ibunya. Dunia ini tidak akan mampu berjalan tanpa kehadiran kaum feminis yang memanfaatkan peluang tanpa lari dari kodrat Tuhan.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun