Pemerintah Indonesia masih merupakan negara yang mempertahankan hukuman mati bagi terpida kasus-kasus berat. Pelaksanaan hukuman mati di Indonesia mengakibatkan perbedaan pendapat baik di kalangan praktisi hukum dan Ham, pemerintah, lembaga negara dan masyarakat sipil yang mengutarakan pendapat di setiap kesempatan termasuk di sosial media. Perdebatan ini makin santer ketika 6 orang terpidana mati Nusakambangan yang semuanya terjerat kasus narkoba, diumumkan untuk dieksekusi mati pada 18 januari kemarin karena penolakan atas grasi oleh Presiden Jokowi.
Menyimak kembali hukum mati di Indonesia, bukan hal baru yang kita dengar. Sampai sekarang, meski pemerintah Indonesia ikut meratifikasi Konvesi Ham di awal kemerdekaan khusunya Konvensi Hak-hak Sipil dan Politik dengan penetapan Undang-Undang Republik Indonesia nomor 12 Tahun 2005 yang memuat; (a) hak untuk hidup (rights to life); (b) hak bebas dari penyiksaan (rights to be free from torture); (c) hak bebas dari perbudakan (rights to be free from slavery); (d) hak bebas dari penahanan karena gagal memenuhi perjanjian (utang); (e) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; (f) hak sebagai subjek hukum; (g) hak atas kebebasan berpikir, keyakinan dan agama, tetap saja kita memungkiri kesepakatan yang telah dibuat.
Banyak media dan opini masyarakat menyikapi hukuman mati tersebut hingga kita terus-terusan dibingungkan dengan silang pendapat ini. Secara humaniter, hukuman mati dianggap melanggar nilai-nilai kemanusiaan dimana setiap individu punya hak untuk tetap hidup apalagi bila mereka yang terpidana mati menunjukkan perubahan sikap selama masa tahanan. Perubahan sikap yang mereka lakukan sudah barang tentu mempelihatkan indikasi adanya penyesalan dari perbuatan yang mereka lakukan. Para terpidana mati berharap akan munculnya kesempatan hidup dari negara tempat mereka melakukan tindakan kriminal. Mereka meyakini, Tuhan Yang Maha Pemaaf turut membuka hati pemimpin negara untuk turut memaafkan. Ekspetasi ini bagian dari keyakinan mereka atas kebaikan bangsa Indonesia. Mereka juga yakin, hanya Tuhan yang memiliki hak prerogatif mencabut nyawa manusia.
Namun kenyataannya tidak demikian, pelaksanaan hukuman mati tetap dijalankan meski mereka telah menghamba pada Presiden.
Hukuman mati tidak ubahnya seperti memecat siswa bandel dari sekolah. Sekolah memang punya peraturan sama halnya dengan negara. Peraturan dibuat sebagai batasan tindakan bagi setiap individu agar tidak melanggar hak-hak orang lain. Dengan begitu, setiap individu mampu mengontrol diri dalam aktifitas sehari-hari. Sekolah ikut serta membentuk karakter diri pribadi siswa yang akan berguna bagi kehidupannya kelak. Sekolah merupakan lembaga formal yang mencetak kedewasaan berpikir siswanya. Sekolah juga cermin prilaku siswa yang berasal dari lingkungan keluarga. Lalu ketika seseorang atau beberapa siswa dicap sebagai siswa bandel serta sulit untuk diperbaiki maka sekolah akan mengeluarkan tindakan tegas yang diharapakan menjadi efek jera kepada siswa lainnya. Sementara bila si siswa tadi berasal dari keluarga miskin, dengan sendirinya tidak mungkin melanjutkan sekolahnya. Bila dia berasal dari keluarga berada, sangat mudah untuk mencari sekolah lain yang mau menampungnya.
Permasalahan barupun muncul. Siswa dari keluarga miskin otomatis sulit melanjutkan sekolahnya. Kenestapaan ekonomi pada akhirnya membuat si siswa miskin dan bandel memulai langkah yang lebih ekstrim dalam kehidupan sosialnya. Bisakah kita menjamin dengan mengeluarkan siswa bandel yang melanggar aturan sekolah akan mampu bertahan hidup di lingkungan sosial selanjutnya? Belum tentu!!!
Mengelurakan siswa bandel sama saja mematikan masa depannya. Setiap guru punya kewajiban menyelamatkan masa depan siswanya.
Pada umumnya, mereka ini akan tetap pada prinsip kebandelannya dan akan memperparah goncangan kepribadian. Rasa marah, kecewa, dan minder karena kenestapaan ekonomi membentuk pemahaman baru yang ujungnya menambah penyakit masyarakat bahkan dijulukki sebagai sampah masyarakat.
Seharusnya, sekolah menjadi ‘bengkel’ yang siap memperbaiki kerusakan mental siswa. Bekal pendidikan seorang guru harus diuji ketika menghadapi permasalahan siswa. Dan tidak dibatasi oleh ‘kemuakan’ guru pada siswa tertentu saja. Begitu juga negara. Lembaga pemasyarakat di Indonesia menjadi bengkel perbaikan orang-orang yang melakukan tindakan kriminal. Setiap penjara di Indonesia, membimbing para tahanan dengan aktifitas sosial, keterampilan dan agama yang sengaja membentuk pribadi-pribadi baru tahanan saat mereka sudah layak dikembalikan pada lingkungan sosial di luar penjara.
Bukan malah mengorbakan nyawa mereka yang telah melenyapkan generasi muda Indonesia. Memang benar, narkoba sudah menjadi bahaya laten yang setiap hari membunuh manusia. Hasil data BNN, di tahun 2014 setiap hari ada 40 nyawa melayang karena narkoba. Jumlah ini bisa saja terus naik melihat laju perdagangan narkoba. Indonesia ditetapkan sebagai pusat pasar perdagangan narkoba Internasional. Pangsa pasar narkoba dunia tertumpu di Indonesia. Hal ini disebabkan tidak adanya batasan umur pengguna dan pecandu narkoba di Indonesia. Bayangkan, pengguna narkoba di Indonesia mulai dari anak-anak SD sampai orang dewasa. Tidak terbatas hanya dari kalangan berduit tapi juga menarik mereka dari kaum papa. Bukan saja dari kelompok sosial kelas bawah melainkan juga dari kalangan high class. Tidak juga dari kelompok marginal namun merambat juga di kalangan intelektual yang seharusnya paham bahaya narkoba. Contoh kecil bisa dilihat dari kasus penangkapan seorang professor dari salah satu perguruan tinggi Makassar tahun lalu.
Kembali ke hukuman mati. Hukum di Indonesia menetapkan hukuman mati adalah peringatan keras sehingga diharapkan mampu membatasi perdagangan narkoba di Indonesia. Tetapi peringatan keras ini harus dianalisa lebih dalam agar tidak melukai sisi-sisi kemanusiaan. Setiap mereka yang didakwa dengan hukuman mati, masih punya waktu untuk memperbaiki diri selama belum jatuh waktu pelaksanaan hukuman mati. Selama itu juga, mereka punya kesempatan melakukan tindakan-tindakan hukum akhir seperti grasi kepada Presiden. Dengan demikian, selama masa tahanan ada celah yang bisa memperlihatkan apakah mereka layak diampuni atau tidak.
Hukaman mati sering kali dipertanyakan secara hukum. Pemikiran saya bukan ingin membenarkan perbuatan mereka yang merugikan kelompok masyarakat lain. Bukan juga melukai hati orang tua yang anak-anaknya menjadi korban narkoba. Ataupun bukan sekedar mempertimbangkan sisi HAM yang terus diperjuangkan. Tetapi berbicara hukuman mati seperti mendiskusikan cara-cara manusia mencabut nyawa yang seharunya hanya dimiliki Tuhan. Mati hidupnya seseorang sudah ditakdirkan Sang Mpunya nyawa. Hukuman mati hanya merubah negara menjadi Tuhan!!!
Penolakan grasi, mengumumkan waktu pelaksanaan hukuman mati serta nama-nama yang terkadang mengulas kehidupan yang akan dihukum mati, saya anggap melanggar sisi kemanusian manusia. Kita tidak tahu apakah ketika proses eksekusi ini tidak menyebabkan penderitaan? Adakah yang bisa memastikan peluru yang bersarang di tubuh atau kepala terpidana mati langsung membuat mati seketika? Bila kita menganalisa berita-berita media bahwa ada rentang waktu lumayan lama antara penembakan dan kepastian matinya sang terpidana maka jelas ada masa dimana sang terpidana merasaka sakit luar biasa menjelang sakaratul maut. Jadi sebagai negara hukum sudah waktunya buat kita untuk memperimbangkan kembali hukuman mati ini. Tuhan punya cara tersendiri mencabut nyawa manusia. Jangan melakukan pembajakan terhadap kuasa Tuhan hanya karena kesalahan. Beri kesempatan bagi mereka yang bersalah memperbaiki kekeliruannya. Biarkan Tuhan yang membolak-balik hati mereka untuk merenungkan nasib mereka. Indonesia bukan negara pembantai, Indonesia negara hukum yang memberikan perlindungan sejati sesalah apapun itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H