Kejadian ini terjadi beberapa hari yang lalu ketika saya akan ke kampus untuk mengumpulkan revisi skripsi. Hari itu sebenarnya kampus libur karena besoknya hari raya idul adha. Akan tetapi, saya tidak tahu kalau kampus libur, karena itu saya menunggu di tempat pos satpam. Sambil menunggu, saya melihat-lihat sekeliling. Tampak di seberang tempat saya duduk, terlihat seorang bapak tua pencari barang bekas mengangkut barang-barang bekasnya menggunakan sepeda. Bapak tua itu tampaknya kepayahan mengangkut barang-barangya yang berkarung-karung ke atas sepeda tuanya. Mungkin karena terlalu banyak muatannya, tiba-tiba karung tersebut terjatuh dari sepeda dan berjatuhan di trotoar. Iba hati saya melihat bapak itu. Niat hati ingin menolong, tapi kendaraan tampak ramai lalu lalang di jalan membuat saya mengurungkan niat untuk menolong bapak itu karena saya agak takut menyeberang. Saya perhatikan orang yang lalu lalang di dekat bapak itu, tidak ada seorang pun yang berniat membantunya. Miris hati ini melihat hal itu semua, sekaligus merutuk dan malu dalam hati karena tidak bisa menolong. Kejadian itu mengingatkan kejadian buruk yang pernah saya alami.
Sore itu, sepulang dari berbelanja, saya akan menyeberang jalan. Kebetulan pada saat itu, hujan baru saja turun sehingga beberapa ruas jalan raya masih tergenang air. Maka, saya pun mencari ruas jalan yang sekiranya tidak parah genangan airnya. Saya pun menyeberang dengan hati-hati, namun tiba-tiba “brak” saya ditabrak oleh sepeda motor yang melaju kencang. Saya terlempar dengan keras ke jalan, beruntung pada saat itu tidak ada kendaraan lain yang melintas di dekat saya ketika saya terjatuh, jika ada kendaraan lain yang melaju di tempat dekat saya jatuh, saya tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi.
Salah satu hal yang paling saya ingat ketika kejadian itu selain layar notebook saya yang pecah adalah, tidak ada satu orang pun yang menolong saya. Sendirian, saya berjalan ke tepi jalan. Kedua kejadian itu membuka mata saya tentang hal yang menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia sudah kehilangan rasa tolong menolong bukanlah isapan jempol semata, dan bahwa masyarakat Indonesia semakin memikirkan dirinya sendiri pun semakin mendekati kenyataan. Hal tersebut tentu mengundang keprihatinan karena sebenarnya orang Indonesia dikenal sebagai orang-orang yang ramah, murah senyum, dan mempunyai rasa tolong menolong yang tinggi.
Lalu sekarang kemanakah hal itu? Apa perlu kita hidup di jaman penjajahan untuk menghidupkan kembali rasa saling memiliki dan kesetiakawanan? Apa perlu kita diceramahi terlebih dahulu oleh orang tua untuk kembali membangkitkan kembali pelajaran yang kita dapatkan ketika kecil yaitu tentang rasa tolong menolong? Tampaknya semua itu tidak perlu, karena yang terpenting adalah adanya kemauan dan kesadaran dari dalam diri sendiri akan pentingnya rasa tolong menolong itu sendiri.
Bukankah sedari kecil kita telah ditanamkan falsafah hidup bahwa sebaik-baiknya manusia adalah manusia yang berguna bagi sesamanya? Dan bahwa kita adalah mahkluk sosial yang tidak mungkin berdiri sendiri tanpa bantuan orang lain?. Terus terang kejadian kakek tadi masih terlintas di benak saya, begitupun di peristiwa-peristiwa lain di mana saya tidak berdaya memberikan pertolongan, atau lebih tepatnya belum tergerak untuk memberikan pertolongan, yang seringkali disebabkan oleh rasa malu karena tidak mengenal orang yang ditolong tersebut. Hal itu membuat saya seringkali didera rasa penyesalan dan lebih malu lagi karena tidak bisa menolong orang yang membutuhkan. Jadi marilah kita lebih memperhatikan sekeliling, ulurkan tangan untuk mereka dan bantu mereka dalam bentuk apapun itu, karena sesungguhnya tidak ada kebaikan yang sia-sia di hadapan-Nya, sekecil apapun itu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H