Pernahkah Anda membayangkan, membayar pajak dengan perasaan seikhlas saat bersedekah, memberikan kebahagiaan tulus layaknya beramal untuk kemajuan bangsa? Di era modern, kepatuhan pajak sering kali dianggap sebagai beban, bukan panggilan moral.Â
Namun, bayangkan jika pajak bukan lagi menjadi kewajiban yang berat, melainkan sebuah ibadah sosial yang sakral, di mana setiap rupiah yang disetorkan terasa sebagai wujud kasih kita kepada sesama.Â
Bagaimana jika kepercayaan publik terhadap otoritas pajak begitu tinggi, hingga masyarakat rela membayar pajak dengan keyakinan penuh tanpa menuntut balasan langsung, meyakini bahwa setiap kontribusi, sekecil apa pun, adalah langkah nyata dalam membangun masa depan bersama?Â
Dengan pendekatan psikologi dan perilaku yang menciptakan pola pikir baru, pajak bisa menjadi lebih dari sekadar angka, namun akan menjadi ikatan moral dan janji kolektif untuk masa depan yang cerah menuju bangsa yang maju.
 Beragam terobosan transformatif melalui transparansi, visualisasi, dan simulasi anggaran negara yang atraktif dapat membantu masyarakat dari berbagai latar belakang untuk memahami peran penting pajak, menjadikannya bukan sekadar kepatuhan rasional, melainkan dorongan emosional untuk terus berkontribusi.
Kepatuhan pajak merupakan aspek krusial dalam sistem perpajakan yang mendukung penerimaan pajak yang optimal, pembangunan ekonomi, dan penyediaan layanan publik.Â
Dalam beberapa dekade terakhir, kepercayaan publik terhadap pemerintah (public trust) menjadi perhatian penting, karena menurunnya kepercayaan publik dapat memengaruhi legitimasi dan kepatuhan terhadap kebijakan pemerintah (Van de Walle et al., 2008).Â
Mayoritas analisis teori kepatuhan pajak berawal dari konsep tax compliance sebagai keputusan ekonomi yang dipengaruhi oleh risiko, sebagaimana dijelaskan oleh Allingham & Sandmo (1972), yang didasarkan pada theory of criminal behavior yang dikembangkan oleh Becker (1968). Teori ini menyatakan bahwa wajib pajak rasional akan memutuskan untuk patuh atau tidak berdasarkan perhitungan antara manfaat yang diharapkan dengan risiko pemeriksaan dan sanksi.
 Teori ini menyimpulkan bahwa kepatuhan pajak akan meningkat seiring dengan meningkatnya probabilitas pemeriksaan dan besarnya sanksi, yang diharapkan dapat memberikan deterrent effect. Namun, model ini tidak menjelaskan mengapa wajib pajak tetap membayar pajak secara sukarela.Â
Kirchler et al. (2008) memperkenalkan Slippery Slope Framework yang menjelaskan bahwa kepatuhan pajak dipengaruhi oleh 2 (dua) faktor utama, yaitu kekuasaan otoritas pajak (power of the authorities) dan kepercayaan wajib pajak terhadap otoritas (trust in the authorities). Â
Faktor ekonomi, seperti probabilitas pemeriksaan dan penerapan sanksi, mencerminkan perceived power dari otoritas pajak dalam menegakkan enforced tax compliance, sementara faktor psikologis, seperti perceived fairness dari sistem perpajakan dan pengaruh norma sosial, berperan dalam membangun trust terhadap otoritas pajak yang mendorong voluntary tax compliance.