Pernahkah Anda membayangkan membeli sesuatu dan dihadapkan pada pilihan membayar lebih mahal dengan kuitansi atau lebih murah tanpa bukti pembelian? Dilema ini terdengar sederhana, tetapi bagi seorang pegawai pajak di sebuah negara berkembang yang ingin membeli sepeda untuk anaknya, pilihan tersebut menjadi cerminan nyata dari tantangan yang lebih besar dalam sistem perpajakan di negara berkembang. Seorang mahasiswa yang membeli sebotol kopi di kantin kampus, mungkin tidak menyadari bahwa pilihannya untuk membayar secara tunai, tanpa bukti pembayaran, berkontribusi pada fenomena yang lebih besar dan membuka celah bagi perputaran ekonomi yang tidak tercatat. Bagi mahasiswa jurusan pajak di sebuah kampus keuangan negara, momen sederhana ini menjadi cermin yang memantulkan tantangan nyata dalam menciptakan sistem perpajakan yang transparan dan adil. Di balik keputusan-keputusan kecil tersebut, terdapat ekonomi bayangan atau shadow economy yang secara diam-diam menggerogoti potensi penerimaan negara, memperlebar kesenjangan, dan memengaruhi kualitas layanan publik. Fenomena ekonomi bayangan ini lebih dari sekadar transaksi tanpa kuitansi, yaitu mencerminkan kompleksitas hubungan antara kepercayaan publik, kepatuhan pajak, dan efektivitas regulasi. Apa yang menyebabkan fenomena ini bertahan, dan langkah apa yang bisa diambil untuk mengatasinya?
Shadow economy merupakan kegiatan produksi dan/atau perdagangan barang maupun jasa, baik legal maupun ilegal, yang nilainya tidak tercermin dalam penghitungan Gross Domestic Product (GDP) serta dilakukan dengan unsur kesengajaan dan memiliki motif tertentu. Aktivitas ekonomi dan penghasilan yang dihasilkan dari shadow economy sengaja disembunyikan dari pengawasan pemerintah dan institusi perpajakan (Smith, 1994) dalam (Schneider dan Williams, 2013). Friedrich Schneider dari University of Linz dan Leandro Medina dari International Monetary Fund (IMF) meneliti bukti empiris mengenai praktik shadow economy di 158 negara, termasuk negara berkembang dan anggota OECD, dalam rentang waktu 1991 hingga 2015. Dalam penelitiannya, ditemukan bahwa rata-rata nilai ekonomi bayangan di 158 negara tersebut mencapai 32,3% dari PDB. Indonesia menghasilkan nilai shadow economy sebesar 19.8% dari GDP. Penelitian yang serupa dilakukan oleh Sri Juli Asdiyanti Samuda dari Badan Pusat Statistik pada tahun 2016, yang memperkirakan shadow economy di Indonesia dengan pendekatan moneter. Dalam penelitiannya, variabel ekonomi seperti permintaan uang kartal, inflasi, beban pajak, suku bunga deposito, dan Produk Domestik Bruto (PDB) diukur dalam periode 2001 hingga 2013. Hasilnya menunjukkan bahwa rata-rata nilai transaksi shadow economy mencapai Rp94.141,25 miliar dan mengalami peningkatan setiap tahunnya. Berdasarkan nilai shadow economy ini, Samuda juga memperkirakan potensi penerimaan pajak yang hilang akibat ekonomi bayangan di Indonesia, yaitu sebesar Rp11.172,86 miliar atau sekitar 1% dari PDB negara.
Pada titik ini, banyak negara berkembang dihadapkan pada shadow economy yang luas akibat berbagai faktor, termasuk kompleksitas regulasi perpajakan, sistem pengawasan pajak yang lemah, serta budaya transaksi tunai tanpa kuitansi. Transaksi tunai untuk barang dan jasa yang tidak disertai penerbitan kuitansi secara signifikan meningkatkan risiko penghindaran pajak. Meskipun layanan perbankan dan alternatif pembayaran lainnya tersedia, sektor-sektor kunci ekonomi di hampir semua negara berkembang masih banyak bergantung pada uang tunai. Tidak mengherankan, ada korelasi negatif yang kuat antara penggunaan pembayaran elektronik atau formal dan ukuran shadow economy. Ini berarti bahwa semakin banyak orang menggunakan pembayaran elektronik, semakin kecil shadow economy tersebut. Pemerintah perlu meninjau pendekatan yang efektif untuk meningkatkan pengendalian terhadap peluang terjadinya unrecorded transactions, dengan mengadopsi sistem yang mampu mendeteksi dini perilaku wajib pajak  yang terlibat dalam kegiatan shadow economy.
Dalam mengatasi shadow economy yang meluas di negara berkembang, penting untuk merumuskan kebijakan yang dapat menaikkan tarif pajak tanpa mengurangi pencapaian kepatuhan pajak. Dalam hal ini, pemanfaatan teknologi modern menjadi krusial. Sistem pengawasan berbasis data dan analitik dengan menggunakan data dari lembaga keuangan dan platform e-commerce dapat mendeteksi unrecorded transactions dan perilaku wajib pajak yang mencurigakan. Ketika kemungkinan pelanggaran dan penghindaran pajak lebih mudah terdeteksi, wajib pajak akan terdorong untuk melaporkan penghasilannya dengan lebih jujur, sehingga mengurangi ruang bagi shadow economy. Pemerintah juga perlu merancang skema hukuman proporsional, seperti denda progresif dengan besaran denda yang meningkat sesuai frekuensi dan tingkat keparahan pelanggaran serta mempertimbangkan hukuman non-monetary yang dapat mempengaruhi akses pelaku terhadap fasilitas publik dan peluang bisnis. Peningkatan tarif pajak harus dilakukan dengan transparansi mengenai penggunaannya untuk kepentingan masyarakat, disertai peningkatan kualitas layanan publik. Penting bagi pemerintah untuk menyadari bahwa besaran penghasilan seseorang tidak selalu berkorelasi positif dengan tingkat kepatuhan pajak. Pendekatan berbasis insentif, seperti pengurangan pajak bagi wajib pajak yang akurat dalam pelaporan dan transisi ke pembayaran elektronik, dapat mendorong kepatuhan dan digitalisasi transaksi. Selain itu, pendekatan edukasi juga sangat penting, terutama untuk generasi muda. Di lingkungan kampus, misalnya, dapat diterapkan program edukasi terkait pentingnya transparansi dan digitalisasi dalam transaksi, yang disertai simulasi nyata tentang risiko dan kerugian ekonomi yang timbul akibat shadow economy.
Pemerintah Indonesia telah menetapkan landasan hukum yang penting untuk perbaikan sistem informasi perpajakan melalui Peraturan Presiden Nomor 40 Tahun 2018 tentang Pembaruan Sistem Administrasi Perpajakan. Dengan peraturan ini, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) diharapkan dapat mengembangkan sistem inti administrasi perpajakan yang andal dan terpercaya untuk mengolah data perpajakan yang akurat dan berbasis teknologi. Keberhasilan penerapan kebijakan ini akan memudahkan pencapaian tujuan peningkatan kepatuhan pajak, baik kepatuhan formal maupun material. Konsep kepatuhan pajak tidak hanya terbatas pada ketaatan terhadap undang-undang perpajakan, tetapi juga mencakup bagaimana kebijakan pajak yang diterapkan memengaruhi perilaku masyarakat dalam memenuhi kewajiban mereka secara sukarela. Dengan pendekatan yang menyeluruh dan inovatif dalam pengawasan serta peningkatan kepatuhan pajak, pemerintah dapat menciptakan sistem perpajakan yang lebih adil dan transparan. Langkah ini tidak hanya berpotensi mengurangi ukuran shadow economy, tetapi juga dapat meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap sistem perpajakan, yang pada gilirannya mendukung pembangunan ekonomi yang berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan.
Referensi
Allingham, M. G. and Sandmo, A. (1972). Income Tax Evasion : A Theoretical Analysis. Journal Public Economics, 1, 323-338. North-Holland Publishing Company.
Becker, G. S. (1968). Crime and Punishment : An Economic Approach. Journal of Political Economy, 76, 169-217. The University of Chicago Press.
Medina, L., & Schneider, F. (2017). Shadow economies around the world: New results for 158 countries over 1991-2015. CESifo Working Paper No. 6430.
Samuda, S. Y. A. (2016). Underground economy in Indonesia. Buletin Ekonomi Moneter dan Perbankan, 19(1).
Schneider, F., & Williams, C. C. (2013). The shadow economy. The Institute of Economic Affairs.