Dwitho Frasetiandy, Banjarmasin Post, 23 September 2010
NEGARA KAYA ENERGI, KALSEL MALAH KRISIS BBM
Permasalahan energi di kalsel seakan memang tak ada habisnya, belum selesai kita dihadapkan pada krisis energi listrik, sekarang masyarakat Kalimantan Selatan siap-siap untuk dihadapkan untuk krisis energi yang lain, krisis bahan bakar minyak (BBM). Walaupun krisis BBM ini bukan yang pertama di kalsel, karena sudah sangat sering masyarakat kalsel berjam-jam antri untuk mendapatkan BBM tapi tetap saja isu ini akan menjadi bom waktu yang jiak segera tidak dilakukan langkah-langkah antisipasi justru akan menimbukan kepanikan luar biasa di masyarakat kita.
Potret ironis ini tentu saja tidak bisa kita lihat secara parsial misalnya mengaitkan krisis BBM ini hanya dengan indikator semakin bertambahnya jumlah kendaraan bermotor yang ada di kalsel, tapi ada hal lain yang jauh lebih besar, yaitu pemerintah tidak memiliki kebijakan energi nasional yang memang bisa berpihak kepada kesejahteraan rakyat.
Tak pelak kekayaan alam ini pun malah menjadi kutukan sumber daya alam (resources curse) dan tidak bisa dinikmati secara murah apalagi gratis oleh rakyatnya yang sebagian besar miskin. Hal ini disebabkan kebijakan energi nasional dikelola tanpa arah, antara satu sektor kebijakan dengan sektor lainnya seolah tidak terkait satu sama lain. Begitu juga belum adanya payung hukum (undang-undang energi) yang bisa mengatur kebijakan pengelolaan energi nasional secara komprehensif.
Adanya kelangkaan dan krisis BBM serta tiadanya jaminan ketersediaan pasokan minyak dan gas (migas), merupakan kenyataan paradoks dari sebuah negeri yang kaya akan sumber energi. Berdasarkan laporan Kementrian ESDM tahun 2009, rata-rata produksi minyak bumi dan kondensat sebesar 963.269 barel per hari (bph). Sedangkan laporan BP Migas, produksi minyak secara nasional pada tahun 2010 hanya naik pada kisaran 965.000 bph. Artinya terdapat angka kenaikan hanya 1.731 bph. Sementara kebutuhan konsumsi energi nasional sekitar 1.400.000 bph. Jika diliaht dari angka-angka itu maka terdapat selisih cukup tajam antara tingkat produksi yang ideal dengan kebutuhan.
Produksi minyak Indonesia saat ini mencapai 900.000 barel per hari, dan 50% dikirim keluar negeri karena 87 %, sektor migas kita telah dikuasai oleh asing seperti EXXON, CHEVRON, British Petroleum (BP), sampai perusahaan Malaysia PETRONAS. Sedangkan kebutuhan minyak Indonesia sendiri saat ini, mencapai 1,4 juta barel per hari, sehingga masih perlu impor 950.000 barel per hari. Dan biaya yang dibutuhkan untuk mengimpor minyak itu adalah sebesar 400 triliun rupiah!. Tentu saja angka-angka ini menjadi pertanyaan buat kita semua, kemana sumber daya alam kita yang sanga melimpah ini?.
Pemerintah pun berdalih ketimpangan kapasitas produksi dan konsumsi masyarakat lah yang menyebabkan permasalahan krisis BBM yang ada. Atas alasan ini pula lah, pemerintah melakukan pembenaran mengimpor bahan/sumber energi dari luar negeri (seperti yang diwacanakan PLN dan Pertamina). Padahal, sekali lagi, Indonesia negeri yang kaya akan sumber energi?. Kebijakan impor ini diambil pemerintah berdasarkan pada BAB II, pasal 3, poin (b) “Terjaminnya ketersediaan energi dalam negeri, baik dari sumber di dalam negeri maupun di luar negeri” UU No. 30/2007 tentang Energi. Padahal, dengan adanya peluang impor bahan baku energi, maka akan ada disparitas (perbedaan) harga migas. Jika ada disparitas harga maka akan selalu ada peluang penyelewengan (spekulan migas).
Indonesia merupakan negara pengimpor minyak. Meningkatnya kebutuhan energi yang disebabkan oleh meningkatnya kegiatan ekonomi sebelum krisis ekonomi global tahun 2008, telah menyebabkan kebutuhan energi Indonesia meningkat sekitar 10 persen setiap tahunnya.
Produksi minyak Indonesia terus mengalami penurunan akibat umur sumur-sumur yang telah tua dan kurangnya investasi baru di sektor perminyakan dan gas dan akibat penguasaan perusahaan-perusahaan asing yang pada ladang-ladang minyak di negeri ini, selain itu pula kebijakan ekspor BBM pun menjadi permasalahan karena kita tidak berpikir bagaimana untuk terlbeih dahulu memenuhi kebutuhan domestik.
Kebijakan impor sumber energi (BBM) oleh pemerintah sesungguhnya mengindikasikan UU No. 30/2007 tidak mengarah pada pemanfaatan energi nasional secara maksimal. UU tersebut juga mengindikasikan tidak bisa mengakomodir segala persoalan energi nasional kini dan yang akan datang. Program efisiensi energi yang dicanangkan pemerintah baru sekedar wacana (lip service) tanpa implementasi nyata.