[caption id="attachment_196817" align="aligncenter" width="300" caption="http://psamabimfibui2012.blogspot.com"][/caption]
Apakah sukses hanya berada dalam genggaman anak Fakultas teknik? Apakah kata berhasil hanya pantas untuk anak Fakultas Kedokteran? Hampir semua orangtua, ingin anaknya masuk dua fakultas ternama tersebut. Harapan beliau-beliau menggebu-gebu, masa depan katanya terlihat cemerlang, dan betapa banyak sekali orang yang menutup telinga juga matanya... dan menganggap sukses hanya berkutat pada dua fakultas tersebut. Tidak terkecuali kedua orangtua saya, dan betapa saya harus berjuang menyakinkan beliau-beliau, bahwa saya berhak memilih.
Sewaktu SMA saya (terjerumus) di jurusan IPA. Dunia yang tak terlalu saya kenal, dunia yang masih  berusaha saya jamah dengan jemari saya sendiri, dunia yang (terpaksa) saya cintai karena saya begitu yakin pada anggapan "Witing tresno jalaran soko kulino." Cinta bisa datang karena terbiasa. Dulu, saya beranggapan jika selalu bertemu dengan rumus dan angka, maka saya akan mudah jatuh cinta. Hari berganti minggu, minggu berganti bulan, dan bulan berganti dengan tahun. Saya merangkak, mencoba melangkah, dan berlari, tapi tak kunjung saya temukan cahaya matahari. Gelap. Kosong. Hampa. Sebenarnya, apakah yang sedang saya cari ketika saya tak pernah tahu apa yang telah hilang?
Keterpaksaan itu terus berlanjut, sampai pada akhirnya saya paham. Paksaan tak akan pernah menghasilkan kebahagiaan. Perantauan saya berlanjut, hingga akhirnya saya memilih Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Dalam langkah gontai, saya berjalan mengikuti alur yang Tuhan rancang dengan begitu sempurna.
PSA MABIM FIB UI 2012. Langkah awal saya dimulai dari sini, pagi-pagi sekali saya bangun, demi mengikuti acara yang telah dipersiapkan oleh fakultas. Tidak, saya tidak disambut dengan senyum yang ramah, saya disambut dengan wajah jutek para Jendral (divisi kedisiplinan). Oh ya, betapa awalnya saya sangat membenci wajah-wajah itu. Betapa awalnya saya sangat membenci suara-suara yang sangat memekakkan telinga. Betapa awalnya saya sangat tidak bersimpati pada mereka. Begitu mudahnya saya membenci, tanpa pernah mengenal lebih dalam sesuatu yang saya benci. Begitu mudahnya saya menghakimi, tanpa pernah bertanya pada diri sendiri, sudah sebaik apakah saya? Ternyata, jiwa itu masih tertempel di tubuh saya. Jiwa anak SMA; manja, tidak disiplin, sok tahu, ingin banyak santai, dan sulit menghargai usaha orang lain.
Acara ini memang berbeda, spesial menurut saya, bahkan terlalu spesial untuk menyambut jiwa-jiwa pengecut seperti saya, yang masih terlalu berjiwa SMA. Kami dibimbing, dibina, diberi arahan, dan diberi tugas yang masing-masing memiliki esensi dan tujuan yang tepat. Dalam mengerjakan tugas, saya mengeluh, terlalu banyak mengeluh, dan betapa saya masih ingin bermanja-manja dan terlalu lama dalam dunia penuh mimpi itu— masa SMA. Dalam acara PSA MABIM, kami dihadapkan pada ketegasan dan kedisiplinan. Rasa benci itu muncul karena saya terlalu terbiasa dengan masa SMA. Bukankah saya sekarang berstatus mahasiswa? Mengapa saya masih benci jika diberi ketegasan dan kedisiplinan? Dan, sekali lagi saya sadar, saya belum benar-benar dewasa.
Acara ini mengundang beberapa alumni juga teman-teman mahasiswa yang masih berkuliah di FIB UI yang terlah berprestasi; untuk membuka mata para mahasiswa baru, agar termotivasi mengukir prestasi, tanpa pernah malu mengakui bahwa kita berasal dari FIB UI. Penyatuaan hati juga terasa saat acara showcase dan pembuatan film, saya merasakan kehangatan tersendiri, ada tali yang tak tersentuh jemari, yang menyatukan para mahasiswa baru agar tak saling berjalan sendiri-sendiri. Ada juga motivator yang memberi kami semangat agar tak pantang menyerah membuktikan bahwa Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya juga pantas dibanggakan, kami juga pantas sukses. Sukses tergantung cara seseorang memimpin dirinya sendiri. Sukses tak berasal dari nama beken universitas ataupun fakultas. Sukses adalah soal perjuangan dan pembuktian, bukan sekadar membangga-banggakan sesuatu yang belum menyentuh kenyataan.
Saya mengikuti PSA MABIM sampai selesai. Hingga pengukuhan. Jauh dari lubuk hati saya yang terdalam, tak ada kata menyesal ketika saya mengikuti acara ini. Ini adalah bagian dari pembentukan karakter mahasiswa baru agar memiliki jiwa yang lebih kuat dan lebih kokoh, agar tak lagi bermanja-manja, dan agar tak lagi mementingkan kepentingan sendiri.
[caption id="attachment_196815" align="aligncenter" width="300" caption="https://twitter.com/fitrahsubarkah/"]
Jujur, amarah dan teriakan dari para Jendral adalah cara terbaik untuk membuka mata saya. Saya dilatih untuk memahami perbedaan antara masa SMA dan masa kuliah. Saya dilatih untuk memahami dunia perkuliahan dengan cara yang tidak monoton dan membosankan. Rasa lelah pasti ada, dan sebenarnya panitia juga pasti lebih lelah daripada saya. Ketika acara hampir sampai puncak akhir, ada sebuah video yang mengundang gerimis kecil di mata saya. Saat gelap menyelimuti audit gedung 9, kami dipertontonkan video yang berisi kenangan-kenangan manis selama mengikuti acara PSA MABIM FIB UI 2012. Yang membuat saya bersedih, adalah saat saya melihat foto para mahasiswa baru dan di bawah foto tersebut tertulis kata "kebersamaan". Tidak berlebihan, saya menangis karena memang "kebersamaan" itulah yang saya dapatkan di sini.
Air mata lebih deras lagi, ketika saya melihat video para jendral (divisi kedisiplinan) yang berjuang dan pantang menyerah demi menyusun acara ini agar mendekati sempurna. Wajah lelah mereka, kantung mata mereka, suara mereka, sentuhan dan colekan mereka, pantaskah saya apresiasi dengan rasa benci? Saya menyesal karena telah membenci sesuatu yang tak terlalu saya kenal. Saya menyesal telah melakukan banyak kesalahan juga kadang mengeluh terlalu banyak, tanpa pernah memahami perasaan para Jendral yang berjuang untuk kami para mahasiswa baru. Mereka bahkan tak bercerita tentang rasa lelah mereka dan mereka tak pernah mengeluh, mereka hanya tahu mendisiplinkan para mahasiswa baru agar jiwa mereka lebih berkarakter dan lebih kuat. Dan, kebaikan hati mereka yang dikemas dengan cara berbeda malah saya pandang sebelah mata? Saya merasa bodoh ketika tak segera memahami hal tersebut. Harusnya saya tak memandang usaha mereka dengan sebelah mata.