Menepi dan menyepi di ujung dermaga. Berharap ramalan cuaca untuk hari ini benar. Langit berawan dan curah hujan perlahan melawan sinar purnama. Di sebelah barat daya kutemui gemerlap lampu ibu kota yang tak pernah padam, namun kupalingkan raga dan aku menghadap ke timur laut. Kamu tahu, hanya bentangan langit yang perlahan menghitam, pekat walau sesekali ada kerlip samar cahaya kapal-kapal yang tak sengaja tertangkap oleh lamunku. Hei! Seseorang menyentuh lembut bahuku dan memecah keheningan. “apa yang kau lihat, sayang?”, “entahlah”, kataku.
Tak terasa waktu berlalu, ramalan cuaca itu meleset! Memang langit berat berawan dan gemetar, namun tak kujumpai setetes pun air di telapak tangan. “tak apa lah!”, seruku dalam hati. Semakin larut rasanya, dan orang-orang semakin tak peduli pada apa yang kulihat, semakin sibuk dengan urusan masing-masing.
Dermaga itu tak pernah sepi, tak pernah mati! Dermaga itu adalah tempatku untuk menyepi, dan arah timur lautnya adalah surgaku melayang dalam pekat. Mungkin seseorang yang saat itu nenyentuh lembut bahuku, tak akan pernah tahu alasanku mencintai timur laut dermaga yang berlangit pekat itu. Dan mereka yang saat itu tengah sibuk dengan urusannya, akan berlalu dan masih mementingkan urusannya masing-masing.
Terima kasih dermaga, aku mencintai pekat di timur lautmu. :)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H