Mohon tunggu...
dwita meiriani
dwita meiriani Mohon Tunggu... -

sedikit tentang saya :: biasa saja!!

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Terinspirasi dari yang Inspiratif

19 Juni 2010   06:13 Diperbarui: 26 Juni 2015   15:26 57
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Ingin sedikit berbagi kepada kalian semua lewat tulisan ini. Tulisan asal yang saya tulis hanya untuk mengisi waktu luang. Semoga bermanfaat bagi semua.

Setiap orang pasti mengalami fase-fase dalam hidupnya. Mulai dari dalam kandungan, balita, kanak-kanak, remaja, dewasa, hingga usia lanjut. Mendapat pengalaman-pengalaman baru yang menyenangkan atau bahkan menyakitkan, mengenal dan kehilangan orang-orang terbaik dalam hidup, dan juga memulai sampai mengakhiri suatu pertemuan. Tentu semua itu bukanlah hal yang mudah bagi siapa pun. Sedikit ingin menyikapi kata-kata bijak yang mungkin sangat kolosal dan tidak asing lagi, yaitu “ada pertemuan pasti ada perpisahan”. Bertemu, mengenal, dan dekat dengan”nya” pasti adalah saat-saat terindah dalam hidup, namun ketika “saat” yang ditakuti harus terjadi, akankah saat-saat terindah itu sirna begitu saja? Berpisah dengan orang yang begitu indah dirasa pasti adalah momok yang sangat menakutkan bagi SIAPA PUN [tidak terkecuali penulis], namun harus tetap dihadapi. Tidak ada yang dapat melawan takdir, tapi bagi saya pribadi takdir memang pasti terjadi, namun proses hingga takdir itu terjadi ditentukan bagaimana sikap dan usaha diri sendiri.
Hidup adalah pilihan, pilihan yang harus ditentukan pastinya. Kali ini saya pun tidak setuju saat seorang teman berpendapat bahwa ‘memilih untuk tidak memilih pun adalah sebuah pilihan’. Pilihan itu ada untuk dipilih, bukan untuk ditiadakan begitu saja. Teringat pula perkataan seorang dosen, ‘kedewasaan diukur dari kemampuan anda untuk menentukan hidup anda sendiri, saat anda sudah berani mengambil sikap untuk memilih jalan hidup anda, dapat dikatakan bahwa anda sudah memasuki fase baru dalam hidup anda, yaitu KEDEWASAAN.’
Sekarang saya mencoba menilik dari sisi perempuan, entah mengapa akhir-akhir ini sisi feminis saya bergejolak. [maaf jika pemikiran ini sedikit menggelitik dan mungkin membuat orang lain tidak suka membacanya].
Terinspirasi pula dari film AS yang sedang diputar di biskop akhir-akhir ini. Empat orang perempuan yang begitu ‘CANTIK’ mengatur hidupnya. Ada yang menjadi pengacara handal sampai lupa akan hakikatynya menjadi seorang ibu, walau pada akhirnya ia membuang prinsipnya dan kembali pada kodratnya sebagai seorang ibu. Ada pula yang lelah akan rumah tangganya dan merasa selalu direpotkan oleh kedua putrinya, walau sesungguhnya ia sangat mencintai buah hatinya. Dan dua perempuan lagi yang sungguh membuat saya takjub. Yang ketiga adalah perempuan yang selalu ingin terlihat sebagai wanita muda walau usianya tidak muda lagi, ia memilih untuk menjadi wanita lajang tanpa ikatan pernikahan, menikmati hidupnya bersama orang-orang yang dicintai dan ia sangat mencintai hidupnya sebagai seorang lajang. Dan yang terakhir adalah seorang penulis yang bergelut dengan tulisan-tulisan mengenai perempuan, perempuan yang telah menikah namun tidak ingin mempunyai anak, tidak ingin menegnakan cincin sebagai tanda ia telah bersuami, dan tidak ingin mengikuti tradisi pernikahan seperti layaknya sebuah pernikahan, menciptakan kehidupan rumah tangganya yang sangat tidak biasa, hingga pada akhirnya ia merasa perlu diingatkan bahwa pernikahan memang harus diikat dengan sebauh cincin di jari manis.
Perempuan dalam realitasnya sering dikesampingkan pendapat, harkat, bahkan martabatnya. Perempuan selalu saja menjadi objek yang selalu dipandang sebelah mata di mana pun ia berada. Sekarang memang perempuan sudah dianggap ‘sederajat’ dengan laki-laki. Namun sesungguhnya belum benar-benar dianggap sederajat. Perempuan yang memiliki karier dan hidup yang sangat maju dianggap momok yang sangat menakutkan bagi laki-laki, sepertinya dianggap sebagai sebuah ancaman. Mengapa harus takut bersaing dengan perempuan? Mengapa harus merasa janggal berada pada meja rapat yang dipimpin oleh perempuan?
Satu lagi realitas yang ingin saya angkat pada tulisan ini. Perempuan yang memutuskan untuk hidup sendiri tanpa bantuan laki-laki adalah perempuan yang dianggap ‘aneh’. Apa salah saat seorang perempuan ingin berdiri dia atas kakinya sendiri? Mengapa harus meminta bantuan laki-laki kalau masih bisa melakukan sendiri? Mengapa semua laki-laki menganggap perempuan selalu membutuhkan dirinya? Oh, Tuhan.. salahkah pemikiran ini?
Sebelum tulisan ini semakin melebar entah kemana, sekali lagi saya hanya ingin membagi sedikit pemikiran yang terinspirasi dari yang inspiratif. Terima kasih telah membaca. :)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun