Mohon tunggu...
Aditya Dwitaji
Aditya Dwitaji Mohon Tunggu... Administrasi - Belajar menjadi penulis

Saya menulis di waktu luang. Minat pada ketenagakerjaan dan hubungan luar negeri. Menulis juga di: www.catatan-dari-timur.blogspot.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Kesedihan Akhir Tahun Lalu dan Kini

31 Desember 2010   16:14 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:07 94
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

Jika anda masih ingat akhir tahun lalu, ketika hingar-bingar perayaan tahun baru membahana disana-sini, seorang guru bangsa meninggalkan kita untuk selamanya. Akhir tahun lalu memang terasa sedikit tragis untuk bangsa ini. Suasana yang ketika itu terasa sangat ironis, mungkin untuk sebagian kita. Perayaan yang bersanding dengan rasa duka.

Mungkin sebagian dari anda tidak lagi mengingat kehilangan bangsa setahun lalu itu. Abdurrahman Wahid atau lebih akrab disebut Gus Dur meninggalkan banyak warisan bagi bangsa Indonesia. Demokrasi, pluralisme Indonesia, dan gerakan hijau adalah beberapa ide dan praktik besar dari Gus Dur yang ia suguhkan kepada bangsa Indonesia.

Gus Dur adalah sosok persepsi yang dualistik dalam hati manusia Indonesia. Dualistik dalam pengertian, oleh sebagian ia dicintai sedangkan yang lain memandang sebelah mata, namun ada yang mencintai sekaligus membenci. Gus Dur muncul dan muali eksplisit dalam panggung politik tanah air ketika reformasi tahun 1998 berhasil menurunkan kekuasaan absolut yang berumur 32 tahun. Gus Dur merupakan salah satu tokoh garda depan reformasi Indonesia, selain diantaranya Amien Rais, tokoh muda Budiman Sudjatmiko, dan punggawa reformasi lain.

Eksistensi Gus Dur dan kesempatan-kesempatan yang disediakan kepadanya berhasil membawa tokoh eksentrik ini kepada tampuk kepemimpinan. Kebijakan-kebijakannya menjadi terobosan-terobosan baru yang fantastis adapun kontroversial. Salah dua diantaranya adalah usaha penghapusan Tap MPRS no.25/1966 dan usaha kerjasama dengan Israel. Kedua kebijakan Gus Dur tersebut merupakan kebijakan yang sangat brilian sekaligus kontroversial, walau kedua kebijakan tersebut tidak berjalan dengan baik. Kehilangan Gus Dur pada malam tahun baru tahun lalu merupakan awal yang getir bagi bangsa Indonesia.

Akhir tahun ini peristiwa yang getir bagi bangsa Indonesia adalah kegagalan memperoleh juara. Yaitu kegagalan memperoleh juara sepakbola tingkat Asia Tenggara dalam kejuaraan AFF 2010. Mengapa peristiwa ini menjadi kegetiran dan kesedihan pada akhir tahun ini? Karena piala AFF dan tim nasional (Timnas) Indonesia atau Timnas Garuda telah memberikan makna Bhinneka Tunggal Ika yang sebenar-benarnya kepada bangsa Indonesia. Kapan terakhir kali anda merasa begitu bersatu-padu, begitu “tunggal ika” sebagai bangsa Indonesia dengan orang-orang sebangsa anda? Pasti jawabannya adalah ketika Timnas Garuda berhasil membela mimpi-mimpi anda, mimpi kita sebagai bangsa untuk dapat menjadi pemenang piala sepakbola se-Asia Tenggara Tersebut.

Coba kita bayangkan, orang Indonesia dari segala pelosok berdatangan ke Stadiun Utama Gelora Bung Karno (SUGBK) untuk berjuang mendapatkan tiket guna mendukung Timnas kesayangannya. Paling tidak sedikitnya tiga orang telah meninggal karena cintanya kepada Timnas Garuda, pada Indonesia. Satu terkena serangan jantung di Lombok barat ketika Timnas Garuda dibantai 3-0 di Bukit Jalil, seorang pemulung berbaju Timnas tewas kehabisan nafas ketika mengantri tiket laga Final Timnas Garuda, dan remaja berkostum Timnas tewas terjatuh dari Kereta Api (KA) Tawang Jaya jurusan Jakarta-Semarang .

Benar-benar dicintanya Timnas Garuda sampai merah seluruh kompleks Senayan Jakarta ketika laga Final AFF diadakan tangal 29 Desember 2010. Namun Timnas Garuda gagal menjadi pemenang piala bergengsi sepakbola se-Asia Tenggara tersebut, walaupun Timnas tercinta ini memenangkan pertempuran pada malam itu. Kesedihan dirasakan seluruh rakyat di segala penjuru Nusantara. Air mata bercucuran membasahi paras para suporter yang tetap mencintai Timnasnya walau gagal menjadi yang terbaik di ajang AFF 2010. Meski begitu suporter Indonesia tidak membenci Timnas, akan tetapi sebagian besar membenci organisasi yang mengasuhnya. Disatu sisi Timnas dicinta, disisi lain PSSI (pengurusnya) dibenci oleh rakyat. Dualisme terjadi lagi dihati rakyat. Karena pada hakikatnya Timnas Garuda adalah PSSI dan sebaliknya.

Dua peristiwa besar menurut saya yang menjadi kesedihan bangsa Indonesia di dua akhir tahun 2010 dan 2011. Semoga dua peristiwa getir tersebut menjadi pelajaran bagi kita sebagai bangsa besar untuk dapat maju dan menjadi bangsa yang dewasa. Harapan kita sebagai bangsa harus tetap hidup dan terus berusa menggapai harapan demi meraih impian sebagai bangsa terbaik. Hidup Indonesiaku!

Aditya Dwitaji, 31 Desember 2010.

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun