Mohon tunggu...
Dwita NurRizki Hasanah
Dwita NurRizki Hasanah Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Singaperbangsa Karawang

Mahasiswa Hukum di Universitas Singaperbangsa Karawang, tertarik membahas kasus Hukum yang terkini dan bercita-cita untuk membantu masyarakat untuk lebih mengetahui Hukum yang berlaku di Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Aturan Hukum terhadap Kekerasan Verbal dan Psikis dalam Lingkup rumah tangga

3 Januari 2023   11:57 Diperbarui: 3 Januari 2023   12:24 2246
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) akhir-akhir ini sering menjadi perbincangan hangat masyarakat Indonesia, disebabkan semakin banyaknya kasus kekerasan dalam rumah tangga. Menurut data dari KemenPPPA, hingga Oktober 2022 sudah ada 18.261 kasus KDRT di seluruh Indonesia, sebanyak 79,5% atau 16.745 korban dan kebanyakan korbannya adalah perempuan. Perempuan kebanyakan yang menjadi korban kekerasan disebabkan budaya dan nilai-nilai masyarakat kita dibentuk oleh kekuatan patriarkal, yakni seorang laki-laki secara kultural telah ditentukan menjadi penentu kehidupan. 

Menurut Foucault "laki-laki telah terbentuk menjadi pemilik 'kuasa' yang menentukan arah 'wacana pengetahuan' masyarakat". Kekerasan yang terjadi pada perempuan secara garis besar (pada umumnya) berawal melalui konsep adanya control atas diri perempuan, baik terhadap pribadinya, kelembagaan, simbolik dan materi. Maka ketika hubungan antar jenis kelamin dikonstruk melalui hubungan dominasi-subordinasi, perempuan akan berposisi menjadi pihak yang diatur oleh laki-laki. Konsep tersebut bekerja melalui seluruh system social tadi yang menyebabkan terjadinya perbedaan identitas jender antara laki-laki dan perempuan.

Kekerasan dalam rumah tangga diatur pada Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga. Pada pasal 1 ayat 1 UU No 23 Tahun 2004 menyatakan bahwa kekerasan dalam rumah tangga merupakan setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang mengakibatkan timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga. 

Sehingga melalui pernyataan tersebut dapat diartikan bahwa kekerasan dalam rumah tangga bukan hanya berupa kekerasan secara fisik tapi juga berupa kekerasan seksual yakni melakukan pemaksaan atau tidak atas ijin pihak korban dalam melakukan hubungan seks, dan juga ada kekerasan psikis yakni berupa kekerasan yang mengakibatkan psikis pada korban terganggu yang bisa disebabkan oleh adanya perkataan yang kasar, hinaan dan sebagainya, kemudian juga ada penelataran dalam rumah tangga yakni seseorang yang menelantarkan keluarganya dalam artian orang tersebut tidak menjalankan kewajibanya. 

Artikel ini akan membahas lebih dalam mengenai kekerasan verbal yang berdampak pada psikis korban dan seorang anak yang berada didalam lingkup rumah tangga. Kekerasan verbal merupakan kekerasan dengan mengeluarkan kata kata kasar tanpa menyentuh fisik, kata-kata yang memfitnah, kata-kata yang mengancam, menakutkan, menghina atau membesar-besarkan kesalahan, sehingaa menyebabkan keadaan psikis seseorang menjadi terganggu. 

Sebagaimana yang diatur pada pasal 7 UU No 23 Tahun 2004 bahwa Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan,hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Sanksi hukum bagi seseorang yang melakukan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga dikenakan pada pada pasal 45 UU No 23 Tahun 2004:

1.Setiap orang yang melakukan perbuatan kekerasan psikis dalam lingkup rumah tangga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 huruf b dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Rp 9.000.000,00 (sembilan juta rupiah).

2.Dalam hal perbuatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan oleh suami terhadap isteri atau sebaliknya yang tidak menimbulkan penyakit atau halangan untuk menjalankan pekerjaan jabatan atau mata pencaharian atau kegiatan sehari-hari, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) bulan atau denda paling banyak Rp 3.000.000,00 (tiga juta rupiah).

Akan tetapi dalam kekerasan verbal yang berdampak pada psikis masih lemah dalam penegakan hukumnya disebabkan masih banyak orang yang menganggap bahwa hal tersebut adalah hal lumrah dalam berumah tangga ketika terjadi percecokan atau pertengkaran. Seperti pada kasus Kekerasan dalam rumah tangga yang dialami oleh Valencya. Dalam rumah tangganya, valencya mengalami kekerasan psikis oleh suaminya. Valencya sering mendapatkan perkataan kasar, hinaan, dan cacian dari suaminya yang mengakibatkan psikis pada valencya menjadi terganggu, valencya menjadi sering menangis, mood negatif sepanjang hari,stress berat hingga mengalami insomnia. 

Kekerasan psikis tersebut juga bukan hanya berdampak pada valencya tetapi juga pada anaknya yaitu mengakibatkan kondisi anaknya menjadi stress , mudah menangis, sulit tidur , mengalami ketakutan selama beberapa bulan terakhir, hingga menyebabkan depresi berat sampai ada keinginan untuk bunuh diri. Akhirnya Valencya membawa kasus kekerasan dalam rumah tangganya ke tahap pengadilan. Valencya mengajukan 2 tuntutan yaitu kekerasan psikis dan juga penelantaran dalam lingkup rumah tangga.

Dalam proses pengadilan Majelis Hakim tidak menemukan keyakinan dalam pembuktian kekerasan yang dilakukan terdakwa (suaminya), sebab berdasarkan keterangan para saksi dari pihak terdekat bahwa valencya dan suami memang sering mengalami percecokan atau pertengkaran dan benar suami ketika bertengkar sering mengeluarkan kata-kata kasar, cacian, hinaan kepada Valencya, dan hal tersebut dianggap hal yang lumrah dalam rumah tangga ketika terjadi pertengkaran. Maka Majelis Hakim tidak memperoleh keyakinan apabila hal tersebut membuat Valencya mengalami kekerasan psikis akibat luapan emosi terdakwa (suaminya). 

Dan dalam keterangan saksi Valencya mengatakan bahwa terdakwa (suaminya) sempat memberi uang pada valencya sebesar 30 juta akan tetapi uang tersebut dikembalikan lagi oleh valencya, maka dalam hal ini pihak suami masih disebut menjalankan kewajibannya dan tidak terbukti secara sah menelantarkan rumah tangganya. Maka dalam Putusan Pengadilan Nomor 335/Pid.Sus/2021/PN Kwg Majelis Hakim menyatakan bahwa terdakwa yakni suami Valencya tidak terbukti secara sah melakukan tindak pidana yang didakwakan dan dibebaskan dari dakwaan.

Menurut opini penulis dengan kasus diatas bahwa kekerasan verbal masih dianggap hal yang lumrah ketika terjadinya pertengkaran dalam rumah tangga, sedangkan kekerasan verbal bisa berdampak besar terhadap psikis korban dan terutamanya bagi pisikis seorang anak yang tinggal dalam lingkup rumah tangga tersebut. Seperti yang terjadi pada anaknya Valencya yang mengalami depresi berat sampai ingin bunuh diri. Maka diharapkan adanya perhatian yang lebih khusus untuk mencegah dan mengurangi kekerasan dalam lingkup rumah tangga.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun