Konflik Palestina-Israel telah menjadi salah satu konflik paling berkepanjangan dan kompleks dalam sejarah modern, yang tidak hanya melibatkan sengketa wilayah tetapi juga persoalan hak asasi manusia. Sejak pembagian wilayah oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada tahun 1947 yang memicu pembentukan negara Israel, ketegangan antara bangsa Yahudi dan Arab semakin meningkat, menciptakan akar permasalahan yang terus berkembang hingga saat ini. Konflik Palestina-Israel mencakup berbagai aspek, termasuk perbedan pandangan mengenai hak untuk memiliki tanah, kemerdekaan, serta kontrol terhadap kota suci seperti Yerusalem, yang sangat dihormati oleh banyak agama. Pembunuhan massal, penggusuran paksa, pembatasan pergerakan, serta penindasan terhadap warga Palestina yang terjadi selama bertahun-tahun semakin memperburuk penderitaan mereka. Di tengah ketegangan yang berkepanjangan ini, hastag #FreePalestine telah berkembang menjadi simbol perlawanan dan solidaritas di era digital dengan menggalang dukungan global untuk menghentikan pelanggaran hak asasi manusia yang dialami oleh rakyat Palestina. Melalui media sosial, tagar tersebut menjadi alat penting untuk mengangkat suara rakyat Palestina, memobilisasi dukungan internasional, dan memperjuangkan keadilan mereka.
Konflik Palestina-Israel bermula dari perbedaan pandangan antara bangsa Yahudi dan Arab mengenai tanah Palestina. Pada tahun 1947, PBB mengusulkan pembagian wilayah Palestina menjadi dua negara: satu untuk Yahudi dan satu untuk Arab, dengan Yerusalem sebagai wilayah internasional. Namun, keputusan tersebut ditolak oleh negara Arab, dan pecahlah perang Arab-Israel pada tahun 1948 setelah deklarasi berdirinya negara Israel. Sejak saat itu, konflik semakin rumit, dengan ekskalasi kekerasan yang melibatkan perang besar, seperti Perang Enam Hari pada 1967, di mana Israel merebut wilayah-wilayah seperti Tepi Barat, Jalur Gaza, dan Yerusalem Timur. Pendudukan wilayah-wilayah tersebut oleh Israel hingga saat ini dianggap ilegal oleh hukum internasional, namun tetap berlanjut dengan pembangunan pemukiman ilegal yang memicu ketegangan lebih lanjut. Kehidupan warga Palestina di wilayah pendudukan menjadi semakin sulit dengan adanya pembatasan gerak, penggusuran paksa, dan pengabaian hak asasi mereka.
Konflik Palestina-Israel telah melahirkan serangkaian pelanggaran hak asasi manusia yang mendalam, mulai dari pembunuhan massal hingga penghancuran infrastruktur sipil. Menurut berbagai laporan dari organisasi internasional seperti Human Rights Watch (HRW) dan Amnesty International, tindakan-tindakan Israel di wilayah pendudukan telah melanggar hukum internasional, termasuk Konvensi Jenewa. Anak-anak Palestina sering menjadi korban paling rentan dari konflik ini. Laporan UNICEF menunjukkan bahwa ribuan anak tewas atau terluka sebagai akibat dari serangan militer, sementara banyak lainnya kehilangan akses pendidikan karena kehancuran sekolah dan blokade. Selain itu, banyak keluarga Palestina meghadapi ancaman penggusuran paksa dari rumah mereka, terutama di wilayah seperti Sheikh Jarrah di yerusalem Timur. Di Jalur Gaza, blokade yang telah berlansung lebih dari satu dekade menyebabkan krisis kemanusiaan yang parah. Tingkat pengangguran mencapai angka yang mengkhawatirkan, dan akses terhadap layanan kesahatan sangat terbatas.Â
Di tengah penderitaan yang dialami rakyat Palestina, tagar #FreePalestine telah menjadi alat penting untuk menyuarkan isu ini di panggung global. Dalam beberapa tahun terakhir, media sosial telah menjadi platform utama untuk mengungkapkan solidaritas dan meningkatkan kesadaran tentang pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi. Tagar tersebut pertama kali mendapatkan perhatian besar selama serangan militer Israel di Gaza pada tahun 2014, dimana ribuan warga sipil, termasuk anak-anak menjadi korban. Pada saat itu, foto-foto dan video tentang pennderitaan rakyat Palestina menyebar luas membangkitkan gelombang protes global dan gertakan kepada pemerintah untuk segera mengambil tindakan. Tagar #FreePalestine menjadi simbol perlawanan dan seruan untuk menghentikan kekerasan. Pada tahun-tahun berikutnya, popularitas tagar tersebut semakin meningkat, terutama di kalangan generasi muda. Kampanye digital menggunakan tagar tersebut tidak hanya fokus pada penghentian konflik, tetapi juga pada advokasi hak asasi manusia, penghentian pendudukan, dan boikot produk yang terkait dengan pendudukan Israel.
Melihat konflik Palestina-Israel dari perspektif hak asasi manusia, beberapa langkah dapat diambil untuk mendorong solusi yang adil dan damai. Pertama, masyarakat internasional harus menekan Israel untuk menghentikan pendudukan wilayah Palestina dan menghormati hukum Internasional. Kedua, komunitas global harus memastikan bahhwa rakyat Palestina mendapatkan akkses penuh terhadap kebutuhan dasar, termasuk pendidikan, kesehatan, dan tempat tinggal yang layak. Ketiga, penting untuk mendukung dialog antara kedua belah pihak yang berbasis pada keadilan dan kesataraan. Tanpa penghormatan terhadap hak-hak dasar rakyat Palestina, perdamaian sejati tidak akan tercapai. Terakhir, kampanye kesadaran seperti #FreePalestine harus terus didorong untuk menantang narasi dominan yang seringkali tidak adil terhadap perjuangan rakyat Palestina.
Konflik Palestina-Israel adalah potret suram dari pelanggaran hak asasi manusia di abad modern. Dengan ribuan korban yang berjatuhan dan penderitaan yang terus berlanjut, dunia tidak bisa lagi berdiam diri. Tagar #FreePalestine bukan sekadar simbol, tetapi juga alat penting untuk menyuarakan keadilan dan memobilisasi solidaritas global. Di tengah ketidakadilan tersebut, peran setiap individu menjadi penting. Dengan menyebarkan informasi yang benar, mendukung aksi yang damai, dan terus menekan para pemimpin dunia untuk mengambil langkah konkret, kita dapat berkontribusi pada perjuangan untuk mewujudkan hak asasi manusia yang sejati bagi rakyat Palestina.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H