Pendidikan jasmani adalah sebagai salah satu mata pelajaran di sekolah yang bertujuan untuk mengembangkan individu secara holistik meliputi pengembangan kemampuan fisik, keterampilan motorik, pengetahuan, mental dan sosial peserta didik melalui aktivitas jasmani atau gerak. Pendidikan jasmani harus dapat menjadi wadah bagi setiap intividu untuk mengembangkan potensi fisik dan sosialnya, namun dalam implementasinya sering sekali dihadapkan pada isu-isu sosial yang menghambat capaian tujuan pembelajaran. Guru pendidikan jasmani harus memiliki kepekaan terhadap isu-isu sosial yang mungkin muncul untuk mencegah ketidakadilan sosial dalam pembelajaran.
Dalam implementasinya pendidikan jasmani sering memanfaatkan aktivitas olahraga dalam mencapai tujuan pembelajaran sehingga bias gender yang terjadi dalam olahraga ikut terbawa dalam praktik pendidikan jasmani. Misalnya saat guru mengatakan bahwa materi pelajaran adalah "sepakbola" maka siswa putra tampak lebih bersemangat dibandingkan dengan siswa putri. Sebaliknya jika materi yang akan diberikan adalah senam, maka siswa putri yang tampak lebih antusias dibandingkan dengan siswa putra. Hal ini didasarkan pada stereotip gender yang masih melekat pada masyarakat bahwa sepakbola identik dengan maskulin dan senam yang identik dengan olahraga feminism sehingga dalam praktiknya dapat menguntungkan salah satu pihak. Dominasi aktivitas fisik yang cenderung maskulin dalam praktiknya seringkali menguntungkan siswa laki-laki. Siswa laki-laki lebih banyak mendominasi pembelajaran pendidikan jasmani. Â Hal ini membatasi eksplorasi minat dan kemampuan siswa di luar batasan gender. Beberapa guru sering menganggap siswa laki-laki lebih kuat secara fisik sehingga lebih unggul dalam olahraga tertentu. Sebaliknya siswa peremuan dianggap kurang kompetitif sehingga jarang diberikan tantangan fisik yang setara. Â Ketika terjadi diskriminasi dalam pemilihan aktivitas maka siswa yang tidak terlibat cenderung membenci pelajaran pendidikan jasmani karena keterlibatan mereka tidak diakomodir dalam pembelajaran.
Pendidikan jasmani yang sering memanfaatkan kegiatan olahraga dalam proses pembelajaran sering menimbulkan isu ekslusivitas. Olahraga dalam persepsi umum seringkali dikaitkan dengan tubuh yang ideal dan kemampuan yang luar biasa. Standar yang tinggi ini menciptakan batasan bagi mereka yang tidak memenuhi kriteria tersebut. Ketika pandangan ini merembes ke dalam pembelajaran pendidikan jasmani, siswa yang memiliki tubuh kurus, kerdil atau kegemukan akan merasa tidak nyaman dan terpinggirkan. Fenomena ini banyak muncul namun tidak disadari oleh guru pendidikan jasmani, namun bagi anak yang secara tidak sengaja menjadi korban dari stereotip ini merasa seperti adanya perundungan dalam aktivitas jasmani. Misalnya siswa dengan tubuh gemuk atau kurus mungkin merasa kurang dihargai karena dianggap tidak mampu mengikuti aktivitas fisik tertentu yang pada akhirnya membuat mereka cenderung menarik diri dan merasa malu untuk berpartisipasi. Ada kalanya anak diminta untuk kedepan mempratikkan suatu keterampilan terntu yang disaksikan oleh guru dan siswa lainnya. Ketika anak merasa tidak mampu dalam melakukan maka akan timbul ketakutan dan ketidakpercayaan diri bahkan mungkin ada yang merasa dicemooh karena ditertawakan oleh teman-temannya. Atau ketika permainan tim dilakukan, siswa yang tidak sesuai dengan standar tubuh ideal atau tidak memiliki kemampuan motorik  seringkali tidak dipilih sebagai anggota tim yang membuat mereka merasa dikucilkan dan kehilangan motivasi untuk berpartisipasi aktif.
Berikutnya adalah isu inklusif khususnya yang berkaitan dengan penyandang disabilitas. Banyak sekolah yang tidak memiliki fasilitas yang ramah disabilitas termasuk untuk pembelajaran pendidikan jasmani. Selanjutnya adalah kurangnya penyesuaian aktivitas bagi siswa yang disabilitas, misalnya aktivitas yang mengharuskan siswa berlari atau melompat tidak dimodifikasi untuk siswa dengan keterbatasan mobilitas. Siswa dengan disabilitas juga sering menghadapi stigma yang menganggap mereka tidak mampu mengikuti kegiatan fisik yang menyebabkan mereka tidak dapat partisipasi aktif dalam pembelajaran.
Pengalaman-pengalaman tidak menyenangkan selama pembelajaran membuat anak malas terlibat  dalam pembelajaran pendidikan jasmani atau menerapkan kebiasaan sehat dengan berolahraga. Ada kalimat yang sering didengar "saya tidak terampil atau berbakat sehingga saya malas berolahraga". Hal ini membuat sisi-sisi positif dalam olahraga tidak dapat tersampaikan sehingga tujuan pendidikan jasmani untuk memfasilitasi individu sehat dan aktif sepanjang hayat tidak dapat tercapai. Ketika terjadi diskriminasi pemilihan aktivitas maupun keterlibatan anak dalam pembelajaran pendidikan jasmani maka akan berdampak pada psikologis anak. Ini menimbulkan kesan negatif dalam pembelajaran pendidikan jasmani, anak akan menjadi resinten. Capaian pembelajaran pendidikan jasmani yang mengharapkan anak dapat menemukan nikmatnya aktif bergerak dan menjadi sehat sepanjang hayat  tidak dapat tercapai secara maksimal.
Pendidikan harus dapat memastikan semua anak tanpa memandang latar belakang sosial, ekonomi, gender atau geografis memiliki kesempatan yang sama dalam mengakses pendidikan yang berkualitas (Ki Hajar Dewantara). Dalam upaya menciptakan pembelajaran pendidikan jasmani yang inklusif, penting bagi guru untuk peka terhadap isu-isu sosial seperti gender, ekslusivitas maupun isi inklusif yang mungkin muncul dalam pembelajaran untuk menghindari diskriminasi dan ketidakadilan. Guru perlu memberikan kesempatan yang setara bagi semua anak untuk berpartisipasi dalam berbagai jenis aktivitas fisikdan memberikan dukungan yang adil dan positif bagi kemajuan dan perkembangan fisik peserta didik tanpa memandang gender dan kondisi maupun kemampuan fisik
Dalam implementasinya guru harus memastikan semua siswa untuk mengenali potensi diri, termasuk mereka dengan disabilitas. Guru harus dapat merancang, menerapkan dan mengevaluasi pembelajaran yang inklusif seperti strategi adaptasi aktivitas fisik, penggunaan sarana dan prasarana yang sesuai dengan kebutuhan siswa dan komunikasi yang efektif untuk menciptakan lingkungan belajar yang mendukung partisipasi aktif semua siswa tanpa diskriminasi. Guru dapat menyesuaikan permainan atau aktivitas fisik dengan kemampuan siswa termasuk dalam menyediakan berbagai variasi permainan atau aktivitas yang dapat diikuti oleh semua siswa sehingga mereka merasa dihargai dan diterima.
Guru juga mendorong siswa untuk fokus pada peningkatan kesehatan dan kemampuan mereka bukan pada penampilan fisik. Aktivitas pembelajaran harus mencerminkan penghargaan terhadap keragaman tubuh sehingga setiap siswa merasa diterima. Mengintegrasikan materi dengan citra tubuh positif untuk mengurangi tekanan sosial terhadap standar tubuh ideal. Dalam proses penilaian guru perlu menghargai usaha dan partisipasi siswa dalam pembelajaran bukan hanya pada hasil akhir. Guru harus mampu mendorong siswa untuk saling mendukung dan bekerjasama daripada hanya sekedar bersikap kompetitif atau eksklusif terhadap teman sekelas.
Dengan kepekaan terhadap isu-isu sosial diharapkan guru dapat menciptakan keadilan sosial dalam pembelajaran pendidikan jasmani. Keadilan sosial dalam pendidikan jasmani berarti memberikan kesempatan yang setara bagi semua siswa untuk berpartisipasi dan berkembang tanpa diskriminasi, terlepas dari latar belakang, kemampuan, atau kondisi fisik mereka. Dengan keadilan sosial, pendidikan jasmani tidak hanya mendukung perkembangan fisik, tetapi juga membangun karakter, rasa empati, penghargaan terhadap perbedaan, dan persatuan di kalangan siswa. Mari merefleksikan diri bersama, sudahkah kita menjadi guru pendidikan jasmani yang adil?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H