Mohon tunggu...
Ni PutuDwi
Ni PutuDwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Doktoral

Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Pendidikan Demokrasi: Membangun Masyarakat Cerdas & Partisipatif

9 Desember 2024   19:19 Diperbarui: 9 Desember 2024   19:19 121
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan merupakan pilar utama dalam pembangunan sebuah bangsa. Indonesia adalah negara demokrasi terbesar ketiga di dunia sehingga pendidikan bukan hanya mentransfer ilmu pengetahuan tetapi juga sebagai sarana dalam membangun nilai-nilai demokrasi. Belakangan ini kita menyaksikan fenomena yang mengkhawatirkan terkait dengan kualitas demokrasi di Indonesia seperti menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat serta calon pemimpin yang terlibat kasus korupsi. Seperti pada Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) serentak tahun 2024 yang sudah berlalu, dimana tingkat partisipasi masyarakat secara nasional hanya 68% menurun dari Pilkada sebelumnya tahun 2020 sebesar 76,9%. Selanjutnya data dari ICW menunjukkan bahwa 138 Calon Kepala Daerah Pilkada 2024 terlibat Kasus Korupsi baik sebagai tersangka, terdakwa, terpidana, saksi, terlapor, atau orang-orang yang namanya pernah disebut dalam persidangan kasus korupsi. Fenomena ini menjadi tantangan bagi pendidikan untuk membekali generasi muda dengan nilai-nilai demokratis.

Socrates menggunakan analogi kapal untuk menggabarkan kekhawatirannya terhadap demokrasi. Jika semua penumpang kapal diijinkan untuk menjadi nahkoda tanpa pengetahuan navigasi maka besar kemungkinan kapal tersebut akan tersesat atau tenggelam. Dalam konteks pemerintahan, ini menggambarkan bahwa jika orang-orang yang tidak kompeten memimpin maka negara beresiko mengalami kegagalan. Untuk itu seharusnya calon-calon pemimpin yang kita pilih harus berkompeten serta memiliki karakter-karakter yang baik. Mungkin kita sering mendengar kalimat "Pemilu bukan untuk mencari yang terbaik tapi mencegah yang jahat berkuasa". Pendapat ini tidak sepenuhnya salah tapi juga tidak sepenuhnya benar. Partai politik sebagai pengusung calon pemimpin harusnya memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan calon-calon terbaik dan berkompeten untuk memimpin negeri ini sehingga masyarakat memiliki banyak alternatif pilihan untuk memilih yang terbaik diantara yang terbaik bukan memilih yang terbaik diantara yang buruk. Ini dapat dilihat dari banyaknya calon kepala daerah yang dicalonkan memiliki rekam jejak kasus korupsi.

Socrates juga percaya bahwa demokrasi cenderung memberikan kekuasan kepada mayoritas yang mungkin tidak memiliki pengetahuan atau kebijaksanaan yang cukup untuk mengambil keputusan yang baik. Keputusan politik yang diambil berdasarkan suara terbanyak dapat mengarah pada hasil yang buruk jika mayoritas yang memilih terdiri dari orang-orang yang tidak teredukasi. Pendidikan disini memegang peranan penting agar kekhawatiran dari Socrates tentang demokrasi tidak terjadi. Pendidikan harus dapat menjadi alat pembebasan dari penindasan kekuasaan yang tidak adil seperti kata Paulo Freire.

Freire menekankan bahwa pendidikan harus bersifat pembebasan, dimana pendidikan yang harus melibatkan peserta didik sebagai rekan dalam proses penciptaan pengetahuan, bukan sekadar penerima informasi untuk mengembangkan kesadaran kritis. Ia mengusulkan model pendidikan dialogis, di mana interaksi antara guru dan siswa dilakukan secara terbuka dan saling menghargai. Siswa tidak diperlakukan sebagai objek, tetapi sebagai subjek yang aktif dalam proses belajar. Ini sejalan dengan konsep John Dewey bahwa pendidikan harus ditujukan untuk mengembangkan kemampuan berpikir kritis. Pendidikan bukan hanya mentransfer pengetahuan tetapi juka membentuk karakter dan tanggung jawab sebagai warga negara. Dewey menekankan pentingnya pengalaman dalam proses belajar. Konsep ini menekankan pada learning by doing dan pentingnya partisipasi aktif siswa dalam proses pembelajaran. Partisipasi berkaitan dengan pemikiran kritis. Siswa yang terlibat aktif dalam diskusi dan pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan berpikir kritis yang diperlukan dalam menghadapi tantangan dunia nyata. Dalam konteks demokrasi ini menandakan bahwa individu diberikan kebebasan dalam memilih namun harus menggunakan rasionalitas dalam menentukan pilihan. Dewey menekankan kepada kebebasan dalam kecerdasan (freedom of intelegence). Kebebasan mengacu pada kebebasan dalam bertindak yang didasari oleh kebebasan dalam kecerdasan atau kebijaksanaan. Oleh karena itu, untuk mewujudkan demokrasi yang sehat harus ditunjang oleh pendidikan yang berkualitas. Jika masyarakat, teredukasi dengan baik mengenai nilai-nilai demokrasi dan pentingnya keterlibatan mereka dalam proses politik, maka mereka akan semakin berpartisipasi dalam menentukan masa depan bangsa.

Bagaimana peran pendidikan dalam demokrasi?

Pertama, pendidikan dapat membentuk nilai-nilai demokrasi seperti kebebasan dalam berpendapat, toleransi, kesetaraan, penghormatan terhadap hak asasi, memahami pluralitas, keadilan sosial dan saling menghargai. Demokrasi akan kuat di masyarakat yang memiliki budaya dan nilai-nilai demokrasi yang sehat. Melalui pendekatan pembelajaran yang tepat, siswa dapat dipersiapkan untuk menjadi warga negara yang aktif dan bertanggung jawab dalam masyarakat demokratis. Implementasi nilai-nilai ini dalam pendidikan harus dilakukan secara konsisten agar dapat membentuk karakter generasi penerus yang mampu menjaga dan memperkuat demokrasi di Indonesia.

Kedua, pendidikan dapat membantu mengembangkan keterampilan berikir kritis. Berpikir kritis merupakan keterampilan yang penting dalam demokrasi, ini memungkinkan individu untuk mengevaluasi informasi secara objektif, memikirkan berbagai perspektif, dan membuat keputusan yang lebih cerdas dan bijaksana. Kemampuan ini perlu agar warga negara tidak hanya mengikuti arus informasi, tetapi juga dapat menilai kualitas dan relevansi informasi yang mereka terima dan tidak mudah terpengaruh oleh propaganda. Fenomena pada pemilu tahun ini kampanye banyak dilakukan oleh para calon melalui media sosial dengan menggandeng artis atau influencer dengan tujuan mempengaruhi pilihan masyarakat. Jargon "orang pintar pilih A" seakan mengatakan jika kita memilih calon yang berbeda maka kita bodoh. Fenomena lain yang muncul adalah memilih pemimpin karena ketidaksukaan terhadap partai pengusung. Di media sosial saya sering menemui komentar "sebenarnya bagus tapi sayang didukung partai A". Ini menjadi tidak logis karena memilih pemimpin berdasarkan suka dan tidak suka pada partai pengusung bukan karena figur serta visi misi dari calon pemimpin. Memilih pemimpin karena ikut-ikutan, karena suka dan tidak suka tentu tidak baik untuk demokrasi yang sehat. Pemimpin harusnya dipilih berdasarkan kompetensi yang dimiliki, visi misi yang disampaikan serta track record yang baik. Masyarakat yang teredukasi menggunakan keterampilan berpikir kritisnya untuk mempertimbangkan calon pemimpin berdasarkan hasil analisis sehingga mampu membuat plihan dengan bijak.

Ketiga, mendorong partisipasi aktif. Demokrasi yang sehat membutuhkan partisipasi aktif dari seluruh lapisan masyarakat. Masyarakat tidak hanya menjadi penonton, tetapi juga aktor yang aktif dalam proses pengambilan keputusan, baik melalui pemilu, diskusi publik, maupun berbagai bentuk keterlibatan lainnya. Dengan berpartisipasi, individu tidak hanya sekadar memilih pemimpin, tetapi juga turut menentukan arah dan kebijakan negara. Implikasinya adalah dengan menerapkan strategi seperti menciptkan lingkungan belajar yang inklusif,  memberikan pengalaman langsung, melibatkan dialog dan deliberasi dimana semua suara didengar dan dihargai, memberikan ruang untuk berkolaborasi, memberikan pilihan dalam pembelajaran, serta dapat memfasilitasi keterlibatan dalam pembelajaran yang lebih mendalam dan bermakna. Pendidikan yang berbasis pada pengalaman, diskusi, dan keterlibatan langsung akan memberikan keterampilan yang diperlukan untuk membangun masyarakat yang lebih sadar, aktif, dan berdaya.

Pendidikan adalah pilar fundamental bagi terciptanya demokrasi yang sehat. Pendidikan demokrasi yang efektif dapat meningkatkan nilai-nilai demokratis, kemampuan berpikir kritis serta partisipasi aktif.  Ini penting dalam kehidupan demokratis untuk membantu menciptakan warga negara yang terinformasi dan berkomitmen pada prinsip-prinsip demokrasi. Oleh karena itu, pendidikan berkualitas harus menjadi prioritas untuk menjalankan sistem demokrasi sehat di Indonesia.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun