Mohon tunggu...
Ni PutuDwi
Ni PutuDwi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Doktoral

Mahasiswa S3 Ilmu Pendidikan Universitas Pendidikan Ganesha

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan

Kekuasaan dalam Pendidikan: Mengendalikan atau Memberdayakan?

2 Desember 2024   19:48 Diperbarui: 2 Desember 2024   23:08 25
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Pendidikan dan kekuasaan merupakan dua hal yang tidak dapat dipisahkan karena saling mempengaruhi. Relasi antara kekuasaan dan pendidikan seringkali tidak disadari. Keduanya terikat dalam jalinan relasi yang membentuk dinamika sosial, politik, dan budaya dalam masyarakat. Pelaksanaan pendidikan tidak akan bisa lepas dari kekuasaan

Dalam UU No 20 Tahun 2003 dijelaskan bahwa pendidikan sebagai usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara. Sedangkan, kekuasaan adalah kesempatan yang dimiliki oleh seseorang atau kelompok dengan tujuan untuk memenuhi keinginan atau kehendaknya. Dalam pelaksanaannya proses pendidikan sering kali digunakan untuk memperkuat atau melanggengkan struktur kekuasaan yang ada.  Kekuasaan dalam pendidikan sering kali dipahami sebagai kemampuan untuk mempengaruhi, mengendalikan, atau mengarahkan tindakan dan pemikiran individu dalam konteks pembelajaran. Di lain sisi pendidikan harus diupayakan menjadi instrument untuk pembebasan yang memungkinkan individu untuk berpikir kritis dan membebaskan diri dari ketidakadilan dan pembodohan

Pendidikan sebagai Alat Pengendalian

Pendidikan sering digunakan sebagai alat untuk mengontrol dan mempertahankan status quo. Kekuasaan dalam pendidikan dapat dijadikan sebagai alat pengendalian melalui kurikulum yang ditetapkan oleh pemerintah. Kurikulum sering kali mencerminkan ideologi tertentu yang mengarahkan pada cara berpikir siswa. Kurikulum bukan suatu yang netral karena dapat mengandung nilai-nilai atau keyakinan tertentu yang selanjutnya menjadi landasan dalam memilih materi, metode dan tujuan pembelajaran. Dalam konsekuensi yang negatif siswa dianggap sebagai objek yang harus diisi dengan pengetahuan dan nilai-nilai tertentu, bukan sebagai subjek yang aktif dalam proses belajar. Siswa harus menjalankan proses pendidikan sesuai petunjuk-petunjuk yang digariskan oleh penguasa (pemerintah/ sekolah). Baik guru maupun peserta didik mengikuti berbagai peraturan yang telah dirumuskan, mempelajari bahan ajar yang disediakan dan telah ditentukan yang dianggap sebagai suasana belajar yang idel. Namun dalam prosesnya terjadi domestifikasi atau penjinakan yang menjadikan peserta didik sebagai robot yang sekedar menerima nilai-nilai terntentu dengan membunuh kreativitas. Jika ini dilakukan hasil pendidikan adalah sebuah proses pembodohan bukan sebagai alat pembebasan.

Bentuk kekuasaan sebagai alat pengendalian juga tercermin dalam peraturan yang ketat dan pemberian hukuman. Seringkali sekolah memiliki peraturan yang ketat mengenai kehadiran, seragam atau perilaku sisiwa. Aturan ini menciptakan batasan yang jelas antara yang yang boleh dan tidak boleh dilakukan dengan tujuan menjaga ketertiban dan mengontrol perilaku siswa. Namun, seringkali peraturan yang dibuat tidak melibatkan siswa didalamnya sehingga memunculkan gesekan-gesekan sosial. Misalnya kasus Razia rambut yang seringkali berujung pada laporan kepolisian dimana pemberian hukuman sebagai konsekuensi dari pelanggaran dengan memotong langsung rambut anak di tempat dianggap kurang mendidik.

Kekuasaan dalam hal ini beroperasi melalui sistem pendidikan yang hierarkis, di mana guru memiliki peran dominan. Dalam konteks hubungan guru-siswa, dinamika kekuasaan sering kali terlihat dalam cara interaksi dan komunikasi berlangsung. Guru, sebagai penyampai pengetahuan, memiliki posisi yang lebih dominan dalam ruang kelas. Guru sering kali memiliki pengaruh besar terhadap motivasi dan keberhasilan siswa. Ketika guru menggunakan pendekatan otoriter, hal ini dapat mengakibatkan penurunan minat belajar siswa. Sebaliknya, pendekatan yang lebih partisipatif dapat meningkatkan rasa percaya diri dan kemandirian siswa. Oleh karena itu, penting untuk memahami bagaimana kekuasaan dapat digunakan untuk memberdayakan siswa dalam proses pembelajaran
 

Pendidikan sebagai Alat Memberdayakan

Di sisi lain, ada juga pandangan bahwa pendidikan bisa menjadi alat untuk meberdayakan individu. Dalam banyak kasus, kekuasaan dapat digunakan untuk tujuan yang lebih positif, yaitu mendidik dan memberdayakan siswa. Pendidikan bukan hanya tentang mematuhi aturan atau menghindari hukuman, tetapi juga tentang mendorong siswa untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses pembelajaran dan berpikir kritis terhadap kondisi sosial mereka. Dalam pendekatan ini, siswa diberikan kesempatan untuk mengeksplorasi, berinovasi, dan berkolaborasi dengan sesama teman sekelas. Siswa yang terlibat dalam pengambilan keputusan terkait proses belajar mereka cenderung memiliki hasil akademis yang lebih baik dan rasa percaya diri yang lebih tinggi. Pendidikan yang memberdayakan juga menciptakan ruang bagi siswa untuk mengembangkan keterampilan kritis dan analitis. Dengan mendorong siswa untuk berpikir secara mandiri dan mempertanyakan informasi yang mereka terima, pendidikan dapat membentuk individu yang tidak hanya siap menghadapi tantangan masa depan, tetapi juga menjadi agen perubahan dalam masyarakat. Bentuk kekuasaan yang dapat memberdayakan siswa:

Pembentukan karakter dimana pendidikan mengajarkan nilai, moral dan etika. Aturan-aturan yang dibuat di sekolah mengajarkan siswa untuk membangun disiplin dan tanggung jawab, menghormati hak orang lain, menumbuhkan rasa keadilan dan kesetaraan. Aturan harus dibuat untuk menumbuhkan karakter melalui proses pembiasaan daripada alat untuk mengontrol.

Pengembangan Potensi Individu. Tujuan dari pendidikan adalah mengembangkan individu secara holistic dengan memperhatikan potensi siswa. Kekuasaan dapat  berfungsi untuk memberdayakan siswa dengan memberikan kesempatan untuk mengeksplorasi minat dan bakat mereka, melalui kegiatan ekstrakurikuler, pilihan mata pelajaran, dan proyek-proyek yang menantang dalam rangka mempersiapkan mereka untuk masa depan.

Peningkatan Kualitas Pembelajaran. Guru sebagai pihak yang memiliki kekuasaan dapat menentukan kualitas pembelajaran. Beberapa pendekatan pembelajaran mencoba untuk mengurangi pengaruh kekuasaan yang bersifat otoriter dan lebih mengutamakan proses belajar yang berfokus pada siswa. Misalnya, pendekatan konstruktivisme yang menyarankan bahwa siswa harus dilibatkan dalam proses pembelajaran yang aktif, di mana mereka membangun pengetahuan mereka sendiri melalui interaksi dengan lingkungan dan orang lain. Pendekatan ini memungkinkan siswa untuk mengembangkan pemikiran kritis dan kreatif serta lebih sadar terhadap kekuasaan yang ada di masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun