Seperti yang kita ketahui bersama, Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) sedang menggelar Kongres ke-XXXII di Pontianak, Kalimantan Barat. Kongres adalah sebuah forum tertinggi yang ada di Himpunan Mahasiswa Islam (HMI). Beragam sudut pandang mengenai kongres kali ini pun menjadi sebuah hal yang menarik untuk dijadikan sebuah catatan literatur singkat bagaimana kongres ini sudah berjalan. Secara umum kongres dimaknai sebagai ajang berkumpulnya seluruh cabang HMI dari seluruh penjuru baik didalam negeri maupun luar negeri, pertemuan agenda rutin 2 tahunan sekali sebagai ajang kegiatan dengan rangkaian agenda acara mulai dari seminar, persidangan, pertanggungjawaban selama 1 perioede kepengurusan PB HMI, kemudian hingga pemilihan ketua umum PB HMI perioede selanjutnya .
Kongres sebenarnya bukan hanya sekedar rangkaian acara seperti seminar, penutup buku lpj'an atau pembuka lembar catatan baru untuk pergantian kepemimpinan selanjutnya. Banyak senior bahkan alumni yang menyebut "bahwa kongres ini sudah seperti hari lebaran nya anak HMI". Esensi kongres harusnya bisa menjadi perekat ajang konsolidasi penumbuh harapan baru berbalut silaturahmi seluruh kader yang hadir dari perwakilan keseluhan cabang yang ada di dalam maupun luar negeri. Puncak dari silaturahmi ini tentunya mengharapkan adanya gagasan-gagasan pikiran besar yang digodok dan dibahas bersama dari semangat kolektifitas dan aspirasi para kader sebagai aktor intelektual yang mewakili seluruh masyarakat dari area cabang nya masing-masing untuk bisa mempertahankan nilai-nilai kebaikan bagi HMI maupun cita-cita mewujudkan masyarakat adil makmur yang di ridhoi Allah SWT di negeri ini, sejalan dengan visioning terbentuknya HMI dari masa ke masa.
Namun sejak tanggal 24 November 2023 sejak dimulai, dibuka dan terus berjalannya rangkaian agenda pada kongres ini. Justru yang terlihat dari kongres ini adalah ketidakpantasan, kebobrokan dan kebusukan yang terus dipertontonkan. Bahkan diberagam media sosial, HMI justru menjadi bahan bulan-bulanan yang dipertontonkan dan dibicarakan masyarakat Indonesia akibat kelakuan para kader nya yang malah menciptakan beragam kericuhan dan kekacauan tersebut. Dimulai dari awal sebelum kongres dimulai pun, beragam kericuhan dan polemik sudah mulai menyelimuti. Seperti kejadian paksa para kader yang mendemo dan memblokade pelabuhan makasar dengan dalih meminta untuk diberangkatkan tanpa tiket, tidak tertibnya para simpatisan HMI (romli) di Asrama Haji. Hingga ketika kongres sudah dijalankan pun banyak kerusuhan yang terjadi di dalam forum, mungkin akhirnya kata intelektual sudah berganti jadi benturan dan kekerasan.
Sudah menjadi rahasia umum memang, bahwa tradisi berkongres HMI selama ini terasa meniru budaya parpol yakni praktek politik yang mendasarkan pada "kapitalisme" yang rela melakukan transaksi keuangan, baik yang dilakukan di internal sesama kader maupun dari kekuatan eksternal non-HMI demi mendapat kekuasaan yang menjamur oligarki. Jauh dari kata merapihkan himpunan ataupun berkeinginan demi kemajuan ummat dan bangsa sebenarnya. Proses perjalanan kongres ini terasa hanya dinilai semata-mata bertujuan hanya untuk segmen pemilihan Ketua Umum PB HMI saja. Secara gradual terlihat bahwa kongres seperti tersabotase, ramai manipulatif, cacat moral dalam pelaksanaannya. Forum didalam arena kongres tidak lebih hanya sekedar seremonial belaka. Berjalannya forum yang sering tiba-tiba diagendakan atau menunggu persidangan dibuka ketika peserta telah hadir atas perintah don, ini menjadi tanda tanya besar bahwa rencana dan manipulasi situasi forum kongres seperti ini memang sedang berlangsung.
Demokrasi di HMI mungkin bukan lagi memilih orang yang baik dan benar. Demokrasi yang kita rasakan hari ini di HMI adalah yang bisa memberikan mamfaat paling besar dan menguntungkan bagi pemilihnya. Arena kongres sudah menjelma menjadi pasar gelap suara yang esensi keberadaan nya yang padat modal lah yang akan berkuasa. Akhirnya para kandidat tak segan-segan berlomba-lomba mencari agen pendukung (parpol/istana) untuk menjamin modal mereka aman untuk dapat berebut kekuasaan. Di keadaan seperti ini sebagian orang bahkan berfikir bahwa ini kesempatan emas untuk dapat berbuat dan menghasilkan. Seketika disinilah kemudian akan muncul juga lapangan pekerjaan baru, pihak-pihak yang menjelma sebagai sang calo kongres akan muncul dan bertindak sebagai perantara deal-deal-an dengan para adinda, yang penting ada fee yang bisa rogoh dan masuk kedalam kantong.
Arena Kongres HMI sudah menjadi laboratorium politik pragmatis yang mencuat, perihal kebobrokan apapun yang dibuatnya kedepan untuk HMI, biarkan saja dia dan tuhan yang tahu yang penting arena ini bisa menjadi penghibur pencaturan kakanda don. Paling-paling pertaruhannya yang muncul kedepan adalah kerusakan generasi ataupun realitas dari kongres seperti ini bisa jadi organisasi ini kedepan hanya akan menjamur sebagai rahim produksi para oligarki yang berkuasa. Selebihnya tunggu saja kehancuran sampai didepan mu ataupun menurun ke generasi mu selanjutnya. Jadi kau mau apa? pilih saja sesukamu.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H