Mohon tunggu...
Dwi Sakti
Dwi Sakti Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Selangkangan dan Simbol Perlawanan

28 September 2015   11:15 Diperbarui: 28 September 2015   13:01 114
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Selangkangan  dan simbol perlawanan adalah kata yang muncul setelah melalui proses kontemplasi yang tidak sebentar. Adalah dua hal berbeda  yang saya harapkan bisa saling menjelaskan satu sama lain mengenai keheranan yang sedang saya rasakan.

Memutuskan berkontemplasi sejenak, setelah melihat pergeseran nilai – nilai kebaikan dan kebajikan yang cukup serius, selama ini saya selalu meyakini bahwa nilai moral, nilai agama dan nilai kebaikan lainnya bisa menjaga keseimbangan hidup, untuk itu wajib bagi kita untuk mentaatinya, namun saya sangat dibuat terheran, ketika nilai nilai itu bergeser dan terkesan mulai ditingalkan demi menyambut kebebasan atas nama pemenuhan hak asasi sebagai manusia yang bebas untuk melakukan apa saja, tetapi sayangnya, sedikit dari manusia yang mendambakan kebebasan itu tidak memahami bahwa kebebasan juga mengikat tanggungjawab.

Apa yang coba saya sampaikan adalah mengenai cerita seorang teman perempuan, terus terang, saya suka sekali menuliskan cerita teman-teman  perempuan saya, tanpa sepengetahuan mereka. karena membaca dan menuliskan kisah mereka, terkadang memberikan kekuatan lain untuk saya agar terus tetap hidup, sebagai manusia dan sebagai perempuan.

 

Kali ini tentang seorang teman perempuan, yang memilih melepaskan kemulianya menjadi seorang ibu dan seorang istri. untuk menjadi seorang peselingkuh, dan tidak tanggung-tangung dia memilih berselingkuh dengan laki laki beristri. Terus terang saya sangat menyayangkan keputusanya, beberapa cara untuk memberitahu kekeliruanya sudah pernah saya coba, namun tidak pernah berhasil.

Menurut saya,  pilihan dia sangat berani dan sekaligus  sangat konyol, ketika dia sadar dia bertumbuh ditengah  masyarakat  yang sangat normative dan lekat dengan nilai luhur dari Tuhan, maka memiliki pilihan dan keputusan  seperti, sama artinya dia berani merelakan dirinya untuk “dibaca” dengan kacamata negative dari orang lain, dan pilihan konyol sama artinya dengan  dia sedang menikam  dengan sengaja belati ke dirinya dan tepat mengenai jatung moralitasnya, maka, mati secara moral adalah konsekwensi nyata dari keputusanya. Namun sekali lagi, dia merasa memiliki kemerdekaanya sendiri untuk memutuskan apapun dalam hidupnya. Bahwa moral, agama ataupun nilai nilai kebaikan lainya, tidak akan membuat dia tunduk dan menyerah.

Jika saya ibaratkan  dia adalah buku dan saya pembacanya, maka buku ini adalah buku yang sangat menarik untuk di baca,  terutama bagi kaum perempuan, karena dibuku ini menyuguhkan banyak cerita tentang keputusan keputusan dia yang sangat berani, dan yang tidak kalah penting dalam buku ini kita juga bisa belajar membaca simbol perlawanan dari setiap keputusannya. Sebagai contoh adalah keputusan membuka selangkanganya untuk beberapa laki laki dalam perkawinan monogaminya. Ini keputusan yang tidak main main menurut saya, karena sebagai orang timur, budaya kita mengutuk dengan keras praktik seperti ini, belum lagi ajaran agama yang pasti sangat menentang terhadap keputusanya.

Namun sebagai pembaca, saya tidak mau terprovokasi untuk ikut menghujatnya, ( meskipun pernah saya lakukan sesekali) saya  ingin belajar memahami apa sebenarnya dibalik semua keputusan gila yang dia buat, lalu dari angle yang lain saya mencoba menangkap beberapa simbol perlawanan yang coba dia sampaikan. Berangkat dari situ, saya mulai membaca satu demi satu ceritanya, sampai saya mengambil kesimpulan sementara, bahwa dia menginginkan kemerdekaan yang utuh atas dirinya, tubuhnya dan juga hidupnya, dan saya paham saat ini dia sedang memperjuangkanya. Lepas dari apakah proses perjuangan itu dilalui dengan cara yang benar atau yang salah, saya juga  memulai proses saya sendiri untuk tidak menghakiminya.

Mengenai simbol perlawanan dibalik setiap keputusanya,  mungkin ini hanya padangan saya saja sebagai pembaca yang pastinya tidak bisa di pertangungjawabkan keobjektifitasanya, simbol yang saya tangkap dari selangkangan perempuan bersuami yang terbuka untuk laki laki lain, adalah simbol perlawanan terhadap beberapa hal  seperti perlawanan terhadap ajaran Tuhan, diman banyak sekali ayat  dalam kitab Tuhan yang mendefinisikan mengenai perempuan yang baik, adalah mereka yang mampu menjaga aurotnya, mereka yang menundukan pandanganya ke pada yang bukan mukhrimnya, mereka  yang menyerahkan diri  dengan ikhlas untuk mengabdi kepada suami dan  mengasuh anak anaknya, mereka yang setia pada satu pasangan  dan mempercayai bahwa hanya maut yang memisahkan, dan masih banyak lainya.  Lalu ketika dia menganggap ajaran agama tidaklah adil untuk dia sebagai perempuan, maka dia bermaksud mengugat semuanya, dia ingin menyampaikan meskipun dia perempuan, dia tidak harus mengabdi kepada suami, dia tidak harus mengasuh anak anaknya serta dia juga tidak harus menundukan pandanganya dengan siapapun, bahkan lebih extrim dia juga mengatakan, tidak hanya pandangan bahkan selangkanganya pun akan dia buka untuk sipa saja atas nama cinta. Dia juga ingin menyampaikan bahwa kalaupun dia tidak melakukan itu semua, itu murni karena keinginannya, bukan karena ketakutanya pada Tuhan.

Simbol kedua adalah simbol perlawanan terhadap institusi bernama perkawinan,  dengan mengikatkan diri pada perkawinan, perempuan di tuntut untuk hanya memiliki satu pasangan, namun tidak begitu untuk laki laki, bahkan dalam satu agama, laki laki di perbolehkan beristri empat orang perempuan ( syarat dan ketentuan berlaku ) dengan keputusan dia membuka selangkanganya untuk laki laki lain yang bukan suaminya, adalah simbol yang dia coba tunjukan untuk menyampaikan bahwa perkawinan tidak membuat dia tunduk dan menyerahkan hidup dan tubuhnya pada satu orang laki laki, seperti yang dia ucapakan “ secara hukum, mungkin memang begitu, aku milik suamiku dan suamiku adalah miliku, tapi sekali lagi tubuh dan jiwaku adalah miliku sendiri dan bukan orang lain, jadi ketika aku memutuskan membuka selangkanganku untuk laki laki lain, itu adalah keputusanku sebagi pemilik tunggal atas tubuh dan diriku, bukan sebagai istri dan ibu”

Simbol perlawanan selanjutnya adalah simbol perlawanan terhadap pembedaan antara laki laki dan perempuan yang di kontruksikan oleh masyarakat. Dimana pembedaan itu dirasa sangat merugikan kaum perempuan, misalnya ketika menjadi perempuan di kontruksikan harus lemah lembut, bermartabat, penurut dll, sedangkan laki laki di kontruksikan sebagai sosok yang kuat, mendominasi, memimpin dll.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun