Mohon tunggu...
Dwi Rusmianto
Dwi Rusmianto Mohon Tunggu... lainnya -

tak ada yang spesifik, tak ada yang special, hanya penikmat saja

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Teater Cinta

27 April 2011   13:20 Diperbarui: 26 Juni 2015   06:19 377
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1303910395763144883

Apa aku sengaja masuki dunia berbeda ini?

Lalu kenapa aku termenung dalam tiap kesendirian? Hanya kecewa dan kecewa lagi kudapatkan tanpa aku sendiri tak tahu penawarnya. Aku….kau….dia….kita….mereka…, tak ada dalam kamus antara. Hanya kata-kata tanpa muka yang tertera di meja makan hari, menggoda dengan kharismanya.

Aku bicara dengan dia, lalu tukar cerita dengan kau, terus aku perhatikan mereka, hasil akhir adalah sama versi berbeda dalam dunia purapura.Apakah aku harus terus tertawa di hadapan mata dunia imitasi, sedang dalam hati bertapa satu luka terkena virus kosakata atau dibelakangku, diamdiam, mereka dan bintang serta unsur alam mengawasi, bicara lantang dan keras menusuk rusuk tulang putihku, perlahan sekali sampai aku merasakan nyeri dan ngilu yang menjadi dan sangat nikmat. Bisa saja tulangku habis digerogoti sayatansayatan indah bagi kesedihan.

Malam tadi aku berpikir keras. Di luar rumahku, sabit kecil menemani dengan setia. Aku bertanya padanya bahwa aku punya firasat, tapi mudahmudahan salah. Lalu aku menyibak satu catatan kecil yang menumpuk di meja kamarku. Aku bandingkan dengan dialog tadi siang antara kau dan dia. Lalu satu nama keluar dari lipatan catatan kecil itu. Apakah aku harus menyebutkannya? Tidak!! Ini buatku saja, orang lain tak perlu tahu.

Maaf, bukannya aku melihatmu sebagai lawan pertandingan. Kau yan bangkitkan aku dari jatuh tempo hari. Lalu mengangkat tanganku, menariknya untuk susuri jalan setapak tiga medan itu, dan kau pulalah memapah dalam kesendirian.

Hahha…..hahahah….hahaha……

“cinta?! Nadanya membuat detakkan jadi satu irama. Liriknya membuat hati jadi satu”; kata temanku sang petualang cinta. “cinta?! Aku tak mengenalnya bahkan bagaimana wajahnya aku tak tahu. Izinkan aku memegangnya walau hanya sekali saja sebab yang aku tahu cinta itu menghilangkan dosa untuk mencari dosa…..(ssssstttsss…..tak kenal)

Hah….

Dua hari berturut-turut, aku terkurung dalam detakkantanya tak menentu di jantung kota harapan. Salah satu di antaranya, kedalamn kota jiwa. Suaranya menggetarkan dawai hati paling sensitif akan satu kelukaan. Apalagi ini adalah satu luka tanpa alasan, nama, dan rasa.

Bagaimana dengan mereka? Mereka yang tahu hanya dari satu pergaulan dan katakata yang tak bisa dibeli dengan harga luka. Kau tahu berapa harga luka?

Dua hari ini aku terus menjalani hidupku dengan tanya mengelilingi. Tapi tak lama kemudian, disaat orang terpejam diinjak malam mengajak sembunyi dari peradaban, aku menemukan yang lain pada wajah bulan. Firasatku bertolak dari pikiran, ia ambil jalan lain lagi. Tapi ini hanya kecurigaan mata dunia yang mendengar obrolan malam dengan suara tidak berwajah, hanya lukisan hidup yang terus lantang bicara. Sedikit banyak aku tahu itu tapi apakah matahari tak lagi menyimpan lagu putih dalam hatinya untuk terus berucap tentang makna hubungannya dengan bulan? Yang kudengar sabit hanya bernyanyi tentang romansa cinta berliku di kedalaman. “Kenapa ia harus bicara seperti, apa yang dia mau, lalu matahari itu….?”

“Ah basi!! Kenapa aku harus pikirkan perdebatan mereka. Mereka kan punya langit sebagai saksi. Aku harus tetap berjalan walau hatiku penuh sayatan tak bertuan”

Aku harus terus tertawa membakar luka. Aku bohong pada diriku sendiri. Tulisanku bertolak dengan ucapan. Suatu saat akan kukupas semua kulitnya lalu biarkan seluruh mata dunia dapat tahu semua, kenapa aku tertawa seperti ini. Tapi ini bukan tertawa orang senang tapi tertawa kedekatan. Maaf, jika kubuat kau menangis. Kudengar cerita . firasat tentang matahari diburu bulan, apakah masih ingat? Ternyata salah. Apakah aku kelepasan bicara tentang dia? Nyanyian lagu putih itu masih tetap tersimpan jauh di kedalaman kota jiwa. Apakah lagu itu dibawakan angina ke tanpa arah hingga perburuan adakan gencatan cinta? Hanya salah ucap, tanggap, bermuara dalam keliling cinta merajalela. Setelah hampir dua kali tak dialog dan komunikata, hari ini terdengar gema orang bicara menusuk telinga.

Hantu itu tak menjejak pasti. Aku ingin di aku sebagai aku. Ternyata dugaanku benar, ia menunggu seseorang datang bawakan kisah baru. Silakan. Sampai otakmu berkarat, sampai kakimu berakar. Satu situasi paling dibenci manusia, menunggu!

Sekarang, segalanya kembali seperti semula dimana asal katanya. Ia biasa saja tanpa ada tanggung jawab bermakna dan aku sendiri lagi terbaring dalam siesta mimpikan bintang jatuh tepat menimpa. Asal aku kuat saja menahannya. Sebenarnya aku tak sengaja, aku selalu didekat mereka, coba mengertikanmu sedikit kau mengertikanku.

Wajah itu terkontaminasi. Berusaha membilasnya tanpa harus berpikir. Semua harus lenyap. Mencoba keras hilangkan noktah hitam pada sutra ini. Lalu pergi, berangkat ke dunia mimpi ambil ilusi dengan fantasi tentang sesuatu tak pasti, tergerak hati tidak untuk berlari dan berhenti melangkah.

Dan sepanjang jalan, berpikir dan terpikir, lebih baik aku menyingkir sebelum tersingkir

Terima kasih matahari, kau terangi jalanku. Terima kasih bulan, kau penerang dalam kegelapan saat aku berjalan dalam kesendirian.

Ha…….haha……..haha…..ha…….haha………

Tasikmalaya, November 2009

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun